TINGKERBELL
Lewat
hujan.
Lewat
layangan yang mulai meninggi di langit.
Lewat wangi
pisang goreng.
Lewat desir
air selokan yang selalu berisik.
Lewat suara
rem motor yang menyakitkan.
Lewat semua
itu aku berusaha menumpuk segudang ide. Ide untuk bisa kembali menulis.
Entahlah tentang siapa yang ingin aku tulis. Yang jelas aku sedang ingin
menulis, namun sayang ide di kepalaku sudah terkuras habis memikirkan “ Kentang
“ atau “ pangeran hujan “ atau “ manusia kalkulus “ atau apapun namanya yang
sering aku beri seenak jidat untuknya.
Dan kini
aku sedang membaringkan tubuh sejenak setelah menghabiskan semangkuk ramen.
Mulai berusaha kembali menggali ide yang cermat untuk bisa menuliskan sesuatu.
Ini bukan mengenai komersial, karena aku tak menjual sedikitpun tulisanku di
media. Itu kalau ada keberuntungan. Setelah kejadian artikel “ panas “ yang
pernah ku tulis saat SMA mengenai sosok Bupati, aku dan khususnya orang yang
pernah membaca artikel itu berpikir bahwa tulisanku tiada berguna. Tulisanku
hanya mengundang kontra banyak kalangan, meskipun tidak sedikit pula yang
setuju. Dan aku mengalami trauma memasang tulisanku di media.
Tapi
menulis itu semacam aktivirtas yang ketika di stimulus sekali, aku akan menulis
tanpa henti. Bagiku menulis
adalah dunia lain tempat dimana semua element bisa mengerti dan mendengar semua
yang aku rasakan. Yak, aku ingin menulis. Ide masuklah pada otak yang tidak
terlalu cerdas ini.
Kerutan di keningku sudah semakin
meronta, menandakan tak ada satupun inspirasi yang bisa memberiku sedikit celah
atau cahaya atau petunjuk atau remah roti apapun itu untuk bisa memulai
menulis. Sampai akhirnya tak sengaja aku melihat satu buku yang tergeletak
suram di meja, stebal 3cm, dan nampak masih sangat baru. Oh yak, itu novel yang
aku pinjam dari Tiara.
Dengan suka atau tidak, aku
meraihnya. Dan aku sadar itu adalah novel yang aku pinjam 4 hari yang lalu, dan
belum aku baca sedikitpun. Keterlaluan. Pengarangnya adalah Arini Putri dengan
judul yang ditulis ‘ goodbye happiness’. Sepenglihatanku, cover novel ini luar
biasa. Namun jujur, aku tak begitu suka membaca. Semua yang pernah ku tulis,
jarang akau baca ulang. Tonkat sihir bintang, kamera polaroid beserta lampunya
menjadi padanan yang cantik menurutku untuk sebuah cover. Tidak terlalu
mencolok, tapi berkessan membuat pembaca penasaran.
Aku membalik novel itu, dan membaca
sinopsisya sedikit Demi sedikit dengn fokus. Ide bisa datang dariaman saja.
Bahkan dari tulisan orang lain sekalipun.
Kau
dan aku tidak ditakdirkan untuk berada dalam satu kisah yang indah.
Percaya
atau tidak,begitulah kenyataannya. Jangan menyangkalanya karena akan sia-sia.
Sama seperti berjalan di atas pecahan kaca. Prejalanan kita sesungguhnya hanya
akan menuai luka.
Kau
dan aku seperti tengah sedang membirukan senja yang selalu merah. Kita
sama-sama berusaha, tapi tidak bisa merubah apa-apa. Senja masih tetap berwarna
merah dan hatiku masih saja berkata tidak.
Maka berhenti dan renungkanlah semua ini sejenak, tidak ada gunanya
memaksa. Ini hanya akan membuatmu tersikasa dan aku tenderita.
Lantas,
kenapa kita tidak menyerah saja?
Bukankah
sejak awal semuanya sudah jelas?
Akhir
bahagia itu bukan milik kita.
Aku meneteskan air mata. Tanpa
alasan. Bukan karena merasa pilu membaca ulasan novel tadi. Bukan pula karena
ulasan itu secara tidak langsung mencerminkanku dan kehidupanku. Aku hanya
menangis kenapa aku tidak bisa menulis sehebat itu. se epik dan seindah Arini
Putri. Aku menghela napas di tengah tangisku, aku kesal dan sedikit geram.
Dan suara desir air selokan di luar
sana masih terdengar jelas. Aku mulai merasa ngantuk. Tapi rasa ingin menulisku
tak kunjung menipis. Rasanya aku ingin sekali merebahkan kepalaku diatas
bantal, namun ketika bangun akan tersa taka adil. Tak adil ketika bangun aku
menemukan bahwa aku belum menulis apapun. Tentang
siapapun.
Lewat bingkai
foto.
Lewat
nyanyian burung hantu.
Lewat wangi
apel.
Lewat
lembabnya kamar.
Aku masih
berusaha mnegumpulkan sejuta kata yang ingin aku torehkan.
Dan lewat memejamkan mata…
Aku
menemukan. Menemui semacam semut merah ataukah semacam air tumpah yang
memberiku harapan untuk menulis.
Lewat
memejamkan mata, aku menemukanmu…
Kali ini sayap tinkerbell tengah rapuh. Entah
terkena duri bunga, atau karena serangan burung. Membuat sayap peri cantik ini tak bisa
di gerakan seperti biasanya. Kali ini dia terbang tidak selincah biasanya.
Tinkerbell terlihat duduk nyaman diatas
sebuah dahan yang hijau dan berembun. Dia asik membaca sebuah buku dan raut
wajahnya menggambarkan dia tengah menikmati cerita dalam buku itu. Nampaknya
buku itu menyenangkan.
Duga hanyalah sebuah dugaan. Dia bukan
tengah menikmati cerita dari sebuah buku. Tinkerbell tengah menatapi foto
seorang bapak separuh baya. Dan mirp sekali dengannya. Yak, foto ayahnya. Sosok
yang selalu dia rindukan setiap menginjakan kaki di rumahnya. Karena ketika dia
pulang tak ada sosok paruh baya itu.
Sosok yang ketika makan malam dia dengar
celotehannya. Karena sudah begitu jarang dia
mendengar nasihat ayahnya.
Sosok yang saat tinkerbell merasa sepi,
akan memberinya ruang untuk bahagia. Dengan pelukan, sedikit canda dan
ribuan manja yang ingin dia perlihatkan di depan ayahnya.
Dia
hanya tersenyum psarah. Dia tak bisa memaksakan takdir. Takdir yang membuatnya
tidak bisa selalu di dekat ayahnya. Takdir yang selalu menjadikan alasan agar
dia mampu menahan rindu dan menjaga jarak dengan ayahnya. Dia tidak menyalahkan
takdir. Hanya saja, ada sedikit sesal kenapa ini terjadi padanya.
Tinkerbell
membuka halaman berikutnya. Yang dia lihat adalah wanita cantik dan menurutnya
mempesona. Wanita yang selalu berpura-pura kuat di depannya. Wanita yang
menyembunyikan tangis dari mata tinkerbell. Ibunya yang selalu geming ketika
jutaan sakit, ribuan caci, maki datang menghujam ulu hatinya.
Tinkerbell tak tahu apa yang mingin dia
perbuat sekarang. Untuk terbang saja dia rapuh, apalagi berusaha melwan semua
takdir yang memang sudah tertulis untuk hidupnya. Takdir yang membuat dia harus
belajar banyak dari semua pahit yang tak kunjung reda.
Tingkerbell hanya mampu berdiam.
Dia
hanya mampu berdoa dan berharap hujan segera menghapus semua kesedihannya.
Hujan
mampu menghapus semua sakit ibunya.
Dan
teduh segera datang. Segera datang membawa ayah pulang.
Hingga
akhirnya mentari akan menyaksikan keabadian cinta tinkerbell, ibu dan ayahnya.
Mentari akan menjadi jaminan mereka tak akan terpisah lagi. Selamanya.
Kini aku tengah tenang. Tenang
mendapatkan sedikit remah roti sebagai petunjuk untuk bisa menulis. Sadar atau tidak Tinkerbell ini sudah
menjadi inspirasi yang sebenar-benarnya. Hanya aku
kurang membuka diri. Yak, kurang begitu merasakan.
Aku mulai
mengedit tulisanku tentang Tingkerbell. Dan sejenak aku menghentikan
aktivitasku. Aku tersenyum kecil. Aku bangga atas diriku. Aku tak menyesal tidak menjadi Arini
Putri. Karena aku pun punya banyak inspirasi menulis. Pangeran matahari, mister
kalkulus, Cherry, dan semua hal yang berada di dekatku. Khusunya Kiky. Dan yang
terpenting Tingkerbell.
Bukan Tingkerbell biasa. Tapi sosok
peri nyata yang tak pernah mengeluh ketika aku sering merepotkannya untuk
menghitung regresi linear pada perhitungan di laporan praktikum. Peri yang selalu
menebar tawa ketika aku mulai melakukan hal konyol. Peri yang menghargai setiap
kekurangan yang selalu aku keluhkan. Peri yang punya NPM 140210100015. Aneu
Wahyuni.
Ku shut down laptopku dan layarnya
mulai meredup. Aku menarik selimut yang sedari tadi ingin aku sentuh. Dan aku
mulai pejamkan mata. Perlahan. Tenang. Aku mencintai Aneu, mencintai Cherry,
mencintai mama-papa dan aku mencintaimu. Kiky.