Rabu, 24 Oktober 2012

Hati 2 Tahun Yang Lalu


Dan kali ini aku merasa ingin menulis tentangmu…

Jika ditanya kenapa? Maka jawabannya adalah setahun yang lalu. Dapat kamu bayangkan bukan, bagaimana aku menjelaskan cerita yang durasinya setahun?
Namun yang aku ingat adalah hari itu aku mengenalmu. Aku tak pernah berpikir akan mengenalmu. Bahkan mencintaimu.
***
Yang aku tahu saat itu aku seperti tersesat di tengah-tengah titisannya Dalton, Thompson, dan arek-areknya yang berjaya pada masa itu. Masa dimana karena ulah mereka yang iseng di laboratorium, akhirnya mengeluarkan banyak rumus yang sekarang seperti makanan wajib bagi generasi muda mulai dari SMP,SMA dan bahkan sampai saat ini. Kuliah.
Aku berada tepat di depan gedung yang menyeramkan ini. Gedung yang berdiri dengan ribuan rumus kimia. Dengan puluhan dosen yang akan mencekikku jika aku tak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku seperti tersesat disini, atau mungkin aku dalam keadaan tak sadar saat berpikir mengambil jurusan kimia di Unpad. Tapi kesadaranku penuh. Aku sekarang tepat di depan gedung yang akan menjadi tempatku berkutat dan menghabiskan masa dewasa selama 4 tahun disini. Membosankan.

“ Ma.. aku ingin pulang saja..” pikirku dalam hati. Aku hanya bisa bergumam sepuasnya dalam hati. Karena aku memang tidak bisa melakukan apapun sekarang. Berbeda jika aku bisa menemukan Doraemon,akan ku rebut paksa mesin waktunya dan aku akan kembali ke masa di mana arek-arekan mas Dalton itu sedang asik dengan mainan anehnya (sejenis tabung reaksi, pipet tetes, buret, dan benda jenis aneh lainnya),menghancurkan semua percobaan yang mereka lakukan dan  takkan ada rumus kimia sampai saat ini. Bodoh. Aku sendiri tak bisa menemukan Doraemon. Indri tolol.
“ gak suka.. gak suka!!!” gumamku memejamkan mata sambil menghentakkan kaki seenaknya di depan gedung kimia yang biasa disebut D5.

Masih dalam keadaan menyesal..
“ punten gih, gedung biologi ning endi?” logatnya khas. Medok gila. Tapi tetap ku biarkan tanpa menoleh. Hanya ku gelengkan kepala sebagai jawaban ora ngerti. Lagian ini orang kenapa mengganggu momentku yang sedang meratapi tersesatnya di jurusan kimia.

Bukan. Bukan logatmu yang kudengar saat itu ,sebagai pertama kali aku mengenalmu. Mengenalmu bisa aku bilang anugerah yang menghapus penyesalanku berada di D5. sampai saat ini menjadi semangat baru setiap harinya untuk belajar dan aku bisa menemuimu setiap hari. Yak, tidak untuk berbicara tentang cinta, makan siang bersama di kantin, atau belajar di perpustakaan. Tapi hanya untuk menatapmu dengan hati-hati, karena nyaliku menciut untuk mengatakan apa yang aku rasakan hampir setahun ini. Bagiku itu sudah menjadi keuntungan sendiri sampai saat ini aku masih mau dan bertahan untuk selalu belajar, dengan harapan aku bisa sepintar kamu. Aku tak mau terlihat bodoh sebagai orang yang menyukaimu, dan akhirnya kamu menolakku dengan alasan aku bodoh. Tidak..

“Neng, ini kunci kamarnya. Mudah-mudahan betah yak neng. Semangat buat belajarnya. Untuk sekarang mungkin di lantai dua sepi, soalnya yang menempati kamar nomor enam mungkin datangnya sore” Bapak kos menjelaskan panjang lebar setelah memberikan kunci kamar yang akan aku tempati. Nomor lima.
“ iya pak terimakasih “ jawabku singkat setelah mendapatkan kunci dari sosok paruh baya yang berkepala botak dan perut yang agak sedikit menonjol. Bapak kosku yang biasa dipanggil pak Sopian itu lebih cocok menjadi koruptor tingkat menengah di banding menjadi pemilik kosan yang tiap hari membersihkan koridor kamar, karena porsi perutnya yang mendukung itu. Ahaha, tapi tak apa dengan mendapat keuntungan tiap tahun dari para penghuni kosan aku pikir itu sudah menjadi asupan gizi yang lebih baik daripada harus menjadi koruptor yang jumlahnya sudah semakin banyak di Indonesia.
“ Itu ada kunci gerbang bawah, gerbang atas, kunci kamar dan gemboknya, Terus sama kunci lemari kamar neng..” buset. Apa gak kebanyakan ini kunci? Kenapa gak sekalian aja yak pak kos kasih aku kunci kandang ayamnya (siapa tahu punya kandang ayam). Ku buka gembok kamarku yang menggantung. Belum sempat gembokku terbuka, suara aneh itu terdengar. Lagi.
aduh, Bapak ndak usah khawatir. Aku bakal apik-apik wae neng kene dan sinau tenanan. ” sepertinya logat ini pernah ku dengar, tapi dimana yak?
“ loh, mba iki sing mau ketemu di gedung kimia kan? Yang aku teko cuma di jawab pake geleng  kepala. Mba ngekos neng kene keding?” pemilik logat aneh itu mulai banyak omong tak karuan. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan dengan panjang lebar tadi.
“ emmm.. maaf mba saya gak ngerti.” Jawabku dengan mimik heran dan pasti terlihat menyebalkan.
“ ahaha, saya lupa. Nama saya Tuti. Saya anak baru di Unpad,jurusan biologi. Tadi kita ketemu loh mba di depan gedung kimia. Cuma kayaknya mba sedang dalam galau tingkat dewa jadi tidak menjawab pertanyaan saya” Kali ini dia menggunakan bahasa yang bisa ku mengerti meskipun logatnya masih sangat tidak enak. Medoknya luar biasa. Dan sungguh nista sekali si mba medok ini menyebutku sedang galau. Huh. Seperti dia tahu saja apa yang sedang aku pikirkan. Tuhan, makhluk luar angkasa mana yang Kau kirim sekarang? Dengan nama Tuti pula. Mengingatkan aku pada tetangga rumah yang hobinya lari pagi dengan kondisi roll rambut bergelantungan banyak. Selain itu tukang gossip tingkat cucak rowo seantero blok rumah. Padahal suadah menikah dan punya anak tiga. Kasihan anaknya. Hahaha.
“ oh yak? Saya lupa. Maaf yak saya masuk kamar dulu”  aku menghindarinya dan berusaha mengingatnya. Tapi yak tidak berhasil. Menurut instingku, jika sesuatu yang di ingat-ingat tidak berhasil di jawab, maka hal itu tidaklah penting. Yak, aku pikir tidak penting mengingat kalau si mba medok itu pernah menyapaku.

Berbeda dengan kamu. Kamu selalu penting menurutku. Sepenting aku harus bisa belajar organik, kimia kuantum atau kimia fisik (mata kuliah favoritmu) supaya aku bisa dekat denganmu. Sepenting aku harus membersihkan muka dengan cleanser setiap malam. Sepenting sekarang aku menuliskan semua tentangmu. Sepenting namamu yang selalu aku selipkan dalam setiap doaku. Sepenting aku mengupdate statusku tentang kamu di facebook dari mulai setahun yang lalu. Sampai sekarang.
***
“ kamu mau kan datang sekarang buat sharing acara halal bihalal sama aku? Nanti kita sharing sama teh Dini dan teh Adel di kosannya” Susan memberi tawaran selesai mata kuliah Kalkulus siang itu. Susan adalah teman satu-satunya yang dekat denganku semenjak menjadi mahsiswa baru di kima Unpad. Itupun tak sengaja bertemu di satu jurusan tanpa kita tahu, kita adalah alumni satu SMA. Payah. Sebenarnya ingin ku tolak ajakan dia, tapi siapa lagi yang akan dia ajak kalau aku menolak, sama saja dia pergi sendiri untuk sharing acara halal bihalal kampus. Teman yang dia punya saat itu juga hanya aku. Aku tak mau merusak awal cerita menjadi mahasiswa karena egois. Akhirnya aku terima ajakan Susan.
“Susan, aku cuma nemenin yak. Aku gak mau kamu tiba-tiba nyuruh aku bertanya tentang kegiatan halal bihalal yang sama sekali aku gak minat. Tahu sendiri aku masuk seksi acarapun kamu yang masukin” gerutuku.
“ iya, iya… kamu cukup duduk manis mendengarkan saja. Biar aku dan yang lain saja yang bertanya” jawabnya.
Hmm? Yang lain? Bukannya  Cuma aku dan Susan yang akan mengunjungi dua senior itu? Yang Susan maksud yang lain siapa? Ah, lupakan. Aku sedang malas bertanya. Tenaga dan pikiranku sudah cukup terkuras dengan  mata kuliah Kalkulus yang menyebabkan aku tegang mata, dan mengalami efek kekurangan ion. Huh.
Sepanjang jalan dari gedung kuliah ke tempat kos senior-senior itu aku hanya diam, sibuk mendengarkan cerita Susan tentang persiapan kegiatan halal bihalal kampus yang merupakan agenda kepanitiaan tahunan yang di berikan kepada mahasiswa baru. Sesekali saja aku mengomentari pendapatnya dengan kata ‘yak’ atau ‘tidak’.
“ kalian sudah sampai? Wah, maaf yak kita telat.” Aku tersadar Susan sedang menyapa seseorang saat sampai di depan kos teh Adel dan teh Dini. Jadi benar, kita tidak datang hanya berdua. Susan curang, dia ternyata punya teman lebih dari satu sekarang. Jadi siapa yang datang bersama aku dan Susan?

Saat itulah aku melihatmu. Saat dimana aku tak lagi menghiraukan suasana. Saat dimana aku mendapat kembali tenaga dan pikiran yang sudah di renggut dosen kalkulus. Pertama kali melihatmu sepertinya terjadi sesuatu dalam hatiku. Sesuatu yang membuat jantungku memompa darah lebih cepat, setahun yang lalu. Sampai sekarang.
Acara halal bihalal yang aku sebut tak penting, menjadi hari dimana aku mendapat hadiah besar dari Tuhan. Kesempatan aku tahu namamu, tahu sosokmu, cara bicaramu dan tertawamu. Yang selalu ku lihat dengan hati-hati dari setahun yang lalu. Sampai sekarang.
***
Hampir 3 jam Susan sharing tentang acara halal bihalal, dan selama 3 jam pula aku menatapnya. Menikmati kembang api yang rasanya meletup-letup di atas kepalaku. Indah bukan main. Sampai pulang ke tempat kos masih saja nuansa itu berputar di otakku dan tak mau pergi. hingga datanglah yang merusak moment indah itu.
“ indri, boleh aku minta tolong  sebentar?” Tuti menghancurkan lamunanku dengan logatnya yang sudah pasti medok. Namun kali ini aku lihat raut wajahnya sedang tidak benar. Apa dia lupa merapihkan mukanya yak? Ah tidak, memang mukanya sudah terbentuk demikian dari awal aku melihatnya. Tapi kali ini Tuti terlihat pucat dan seperti tak berdaya, dilihat dari tubuhnya yang memang kurus kering dan lembek itu.
“ kamu sakit?” kali ini aku sedikit panik. Bukan karena so’ peduli, tapi tidak lucu kalau mendadak Tuti pingsan di depanku dan aku menjadi tersangka yang di curigai teman kos lain bahwa aku telah menganiaya Tuti dengan alasan aku membenci logatnya. Kekerasan karena perbedaan logat bicara akan menjadi judul berita konyol yang muncul di berbagai koran dan berita kriminal nasional di berbagai stasiun tivi. Ah, tidak.. tidak.
“ kamu mau ke UPT? Atau puskesmas gitu? Nanti aku anter Tut. Kamu terlihat sangat tidak sehat” aku kembali bertanya dengan keadaan semakin panik dan menghampiri Tuti yang berjalan sempoyongan, layak nenekku kalau sedang mendengar lagu dangdut.
“ ndri, mau menolongku kan?” Tuti semakin membuatku panik. Dia bukan lagi sempoyongan, tapi hampir jatuh. Kalau saja tidak tertahan dinding, dia pati sudah ambruk dalam posisi jelek. Aduh, si mba medok ini.
“kerokin aku Ndri…” dengan santainya dia menjawab. Kepanikanku berubah menjadi kekesalan yang hampir saja aku apresiasikan lewat jitak ala misae di kepala Tuti. Itulah awal kejadian yang mengakrabkan aku dengan Tuti. Yak, memang berawal dari sebuah kerokan yang menyelamatkan dia dari kondisi masuk anginnya. Tapi Tuti merupakan hadiah kedua yang Tuhan beri semenjak aku kuliah. aku sudah terbiasa dengan logatnya. Bahkan aku tidak keberatan jika memang ada berita dengan judul romantika sunda dan jawa beredar seantero jagad raya.

Seindah romantika Majalengka dan Jakarta. Romantika yang selalu aku perdebatkan denganmu. Masih sangat membekas saat ditengah-tengah dosen membahas mata kuliah, kamu bertanya tentang kota asalku.  Majalengka. Dengan gayamu yang so asik (tapi aku suka), kamu membandingkan Majalengka dengan Jakarta. Lagamu yang mengagungkan mall yang berserakan di Jakarta, gedung yang menjulang tinggi, jalanan yang selalu macet dan jelas itu ibukota, selalu menjadi alasan agar kamu tak terlihat kalah. Padahal aku tahu kamu menginginkan suasana yang berbeda. Kamu menginginkan sawah, udara, dan suasana seperti Majalengka. Aku senang saat kamu banyak bicara. Selalu aku nikmati tawamu dengan hati-hati, dari mulai setahun yang lalu. Sampai sekarang.
Terkadang aku sangat cemburu saat kamu tertawa bersama orang lain. Ingin ku beri pelajaran saja mereka yang tidak menghargai perasaanku. Yang berani mendekatimu. Ku buat mereka menjadi adonan kue pukis. Gggrrrr.
***

“Ndri, kamu mau kan dengerin ceritaku?” Tanya Tuti dengan posisi terlentang di atas tempat tidur, dan tidur alay ala Tuti. Piyama Winnie the pooh, sendal tidur beruang, bed cover Ben10 dan selimut Barbie.
“ Tentang mikrobiologi lagi? Aku udah bosen dengerin kamu cerita tentang makhluk kasat mata itu Tuti. Rasanya aku sampai hapal, gara-gara sering kamu certain ke aku” Aku jawab sambil tetap berusaha konsentrasi membaca buku andalan kimia. Fessenden. Hampir satu jam aku membacanya, tapi seolah tak ada yang menempel. Berbeda saat aku mendengarkan cerita bakteri, virus atau mikrobiologi yang sering Tuti ceritakan. Sial. Meradang sudah ini mata kuliah Tuti di otakku. Padahal aku sebentar lagi ujian tengah semester, bahaya jika organikku sampai tidak mengerti.

Jika sampai aku tidak mengerti organik, maka jalanku menuju duniamu akan tertutup. Aku masih selalu tidak percaya saat kamu mengajakku untuk belajar organik bersama. Seolah aku terhipnotis, dengan santai aku Cuma mengiyakan ajakan kamu. Saat kamu sudah tak terlihat, barulah aku menyadari kebodohanku. Bagaimana ceritanya belajar, sedangkan aku sama sekali tak mengerti organik. Demi menghabiskan waktu denganmu, aku rela  tutorial organik, agar saat belajar denganmu aku merasa lebih siap. Organik menjadi alasanku sampai sekarang untuk dekat denganmu.  

“aku gak mau tahu ndri, kamu harus denger ceritaku” paksa Tuti.
“Bakteriofag terdiri dari sebuah inti asam nukleat yang di kelilingi selubung protein. Banyak yang mempunyai ekor yang digunakan untuk melewatkan asam nukleatnya ketika menginokulasi sel inang…..” cerita makhluk kasat mata itu di mulai.
Dan aku masih harus berusaha dengan buku Fessenden yang aku pegang. Ya tuhan, begitu spesialkah dia di mataku? Untuk dekat dengannya saja aku harus bisa memahami pelajaran menakutkan ini. Sama menakutkan dengan dosennya. Huh.
Aku sama sekali tak menghiraukan apa yang sedang Tuti ceritakan. Sampai aku mendengar suara mengerikan dan aku menoleh Tuti sudah dalam posisi menakutkan. Sangat menakutkan. Kakinya terangkat ke atas dinding kamar, kepalanya menggelantung di tepian tempat tidur, dan mulutnya mengangap lebar, diiringi alunan ngorok yang sama sekali jauh dari kata merdu. Dia tertidur pulas dengan dongeng mikrobanya sendiri.
***
Ku keringkan rambutku sehabis keramas pagi ini. Ah, kuliahku di mulai pukul 7. pagi ini aku lewatkan bersama roti bercokelat dan doa agar aku bisa melihatnya dalam deretan bangku kuliah di kelas nanti.
Setengah pikiranku yang kusediakan untuknya pagi ini, akan ku perpanjang sampai malam. Aku berusaha memulai pagi ini setenang mungkin. Dan harus gagal total karena tiba-tiba Tuti dengan body gagsnya kalau sedang memegang ponsel, dia akan menabrak apapun yang ada di depannya tanpa pandang bulu, masuk ke kamarku tanpa permisi. Sial.
“Ndri, kamu tahu kan adikku yang sering ku ceritakan. Dia kan umurnya masih 4 bulan, moso coba yak ibuku bilang mau masangin behel. Menurutmu gimana ndri?” dengan terengah-engah Tuti bertanya hal yang menurutku anak ingusanpun akan bisa menjawabnya.
Sebagai pembalasan dendam karena dia sudah merusak pagiku, aku jawab iseng saja “mbok yo ajak aja adikmu ke ruang keluarga dan obrolin dengan baik-baik”.
Dan… blettaakkk!!!! Dia menjitak kepalaku kencang sambil pergi keluar dengan muka di lipat kesal.
Aku hanya tertawa kencang.
***
Seperti biasa aku menempati barisan tempat duduk paling depan disamping Hasna. Aneh, kursi samping kananku masih kosong. Sudah jam segini Hasna belum terlihat sama sekali batang hidungnya. Padahal dia selalu datang lebih awal dariku. Ku coba buka buku catatanku, menorehkan gambar bunga mawar merah yang selalu ku gambar jika aku merasa bosan. Aku suka bunga mawar.
“ pagi ini gak ada tugas kan ndri?” sebuah sumber suara mengagetkanku dan membuat gambar mawarku menjadi tercoret. Kesal. Saat ku toleh sang pemilik sumber suara, aku tak bisa lagi marah. Ah, dia. Dia menempati kursi samping kananku.
“ kenapa ndri? Ada yang sudah duduk disini?” tanya dia, sambil melepaskan tas gendongnya.
Pagi ini dia terlihat tampan. Ah, tidak!. Tidak hanya pagi ini. Setiap hari dia selalu terlihat tampan. Dia selalu terlihat rapih, dengan rambutnya yang lurus dan berjelly. Dengan kemeja yang motifnya selalu aku suka. Dengan jam tangan silver yang selalu dia kenakan, dan sepatu abu-abunya.
“mmm… gak.. gak ada siapa-siapa. Hari ini juga gak ada tugas kok” jawabku sedikit tegang.  Aku sedang berusaha ,menatapnya dan ingin rasanya aku mengatakan sesuatu. Seandainya dia mengerti, aku takkan susah payah memikirkan bagaimana cara mengatakannya.
Dan sang dosenpun masuk. Dia mulai menjelaskan panjang lebar tentang materi kuliah pagi ini, tanpa melihat kondisi mahasiswanya. Ada yang memang fokus, ada yang setengah sadar karena pikirannya masih tertinggal di tempat tidur, ada yang sedang asik mengetik pesan di Black Berry-nya, dan ada yang masih saja terus melakukan pencurian pandang terhadap teman di bangku sebelahnya. Jelas aku.

Aku suka sekali melihatmu dibanding pelangi. Aku suka sekali melihatmu meracau saat dosen menjelaskan materi. Aku suka sekali menatapmu dalam, saat mulai merasa ngantuk dan mulai tertidur dengan posisi menunduk. Aku suka sekali saat kamu maju ke depan mengerjakan soal, dan aku melihat punggungmu. Aku suka sekali saat kamu menorehkan pena lewat tulisan sambungmu. Aku suka sekali saat kamu mengeluarkan tempat pensilmu dari tas. Aku suka sekali kamu, dari setahun yang lalu. Sampai sekarang.

Di tengah pelajaran kimia fisik ponselku menyala. Sebuah pesan dari Tuti.
Hari ini kita ketemu di Jatos yak jam 4, aku tunggu di foodcourt. Kita makan bareng.
aku hanya terheran. Kalau saja aku ginnie, akan ku ubah dia menjadi trenggiling atau berang-berang karena selalu bersikap semaunya. Yak, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.
***
Dengan langkah terburu-buru aku hampiri Tuti di sebuah tempat milkshake. Saat aku menempati tempat duduk, aku tahu ada seorang pria yang tak kukenal duduk di depanku. Dalam hati aku berpikir, mungkin dia ada perlu padaku. Sampai terlihat di meja seberang Tuti melambaikan tangan. Oh iya, aku salah menempati kursi. Ups. Dan dengan  langkah malu segera ku hampiri Tuti.
“ tumben kamu ngajak aku makan bareng Tut? Biasanya kalau di ajak pasti gak bisa” tanyaku setelah mendapat segelas milkshake vanilla dari waitress.

Aku suka vanilla. Wangi. Seperti dia yang selalu tercium aroma parfumenya setiap memasuki ruang kelas. Pikiranku kembali melayang padanya. Hanya dari segelas milkshake vanilla aku bisa mengingatnya. Sumpah aku menyukainya. Benakku. Maka dengan di iringi gemuruh orang, sore ini aku berdoa semoga suatu saat aku menjadi salah satu kebutuhan baginya.

“AMIIN.. “ suara peng-aminan itu kencang sekali. Kembali Tuti merusak segalanya. Sebal. “aku besok mau berangkat kuliah lapangan ndri, makanya sengaja aku ajak makan bareng dulu.” Tuti mengeluarkan alasan kenapa dia mengajakaku makan di luar.
“hah,kulap? Mendadak banget? Dimana? Berapa hari?” tanyaku serius.
“aduh, tanyanya satu-satu Ndri.. terkesan banget kamu panik. Ahaha, ketahuan yak kamu gak bisa di tinggal sendiri di kosan”. Panik? Tidak. Aku tidak panik mendengat Tuti akan melakukan kuliah lapangannya. Hanya saja, aku merasa sedikit was-was dan tak tenang. Bagaimana mungkin Tuti di lepas untuk kuliah lapangan, akan jadi masalah besar jika dia muncul di peradaban sementara medok supernya selalu terdengar menyebalkan. Itu di telingaku. Dan aku rasa akan sama bagi orang lain. Hahaha.
“ jelas aku panik Tut. Gimana gak panik coba,jenis mamalia langka mau kuliah lapangan. Hahahaah” ku jawab saja dengan guyon yang membuat Tuti geram. Sebenarnya aku memang panik setiap tak  ada Tuti. Aku akan merasa kesepian, merasa tak ada yang mau mendengarkan, teman nonton DVD korea dan makan malam. Sepi.
Dua porsi mie ayam sudah tersaji,hmm.. wanginya menambah daya makan meningkat. Segera saja kulahap tanpa memperdulikan lagi masalah kuliah lapangan Tuti. Ah, Pedas sekali mie ayam ini.

Bicara makanan Pedas, aku teringat siang itu kamu sudah jongkok Manis di depan gerbang kosanku. Rencana kita siang itu adalah belajar organik untuk ujian tengah semester.
Di tengah-tengah belajar, suara tukang rujak mengacaukan konsentrasi kamu, dan segera memesan dua porsi rujak. Ah, Pedas. Menyenangkan sekali bisa melihat kamu begitu panik saat sesendok rujak itu masuk ke dalam mulut kamu. Mimik muka kamu akan berubah merah menyala, matamu mulai berbinar mengeluarkan air mata saking menahan rasa Pedas. Aku suka melihatmu siang itu. Seteguk, dua teguk, tiga teguk air minum tidak bisa juga meredakan rasa membakar di lidahmu. Pikirku, salah kamu sendiri pesan rujak cabe begitu. Tapi takkkan pernah aku biarkan kamu terluka,bahkan hanya karena cabe. Segera ku tawari kamu makan makanan Manis yang ada di toples kamarku. Manis.
Manis. Bukan rasa kue yang aku berikan padamu. Bukan pula Manis adalah rasa yang sangat kamu suka. Manis. itu kesimpulanku setiap kali aku melihatmu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang. Kenangan setiap kebersamaan yang selalu menjadi imajinasiku saat menuju tidur. Menjadi doa dan harapan yang tak permah lelah aku minta pada tuhan.

sambil memutar telapak tangannya di perut “aah, aku masih lapar” ujar Tuti, sambil kita melangkah pulang sore itu sehabis makan di foodcourt Jatos.
“ masih lapar? Kita baru makan Tuti, dan porsi mie ayam tadi itu sudah sangat banyak, masa masih lapar?” jawabku kaget. Sebenarnya meskipun kurus kering,Tuti memang mempunyai kekuatan gaib yang cukup kuat di perutnya untuk menampung makanan lebih banyak, tapi tidak wajar untuk kali ini. Mie ayam mang jono itu porsinya banyak, dan dia masih mengeluh lapar.
“ kamu ga lihat Ndri, tadi kan aku tidak , menghabiskan semuanya. Aku sisakan setengah dari porsi sebenarnya” mana aku tahu dia menyapu semua atau tidak, itu mie ayam dia. Yak terserah dia.
“Terus kenapa di sisain kalau masih lapar?”
“soalnya, kalau makan di luar itu harus di sisain biar kelihatannya kita elit dan seperti orang kaya Ndri” jawabnya serius.
“hah? Teori siapa pula itu? Lagian kita Cuma makan mie ayam mang jaja yang emang bisa di jangkau semua kalangan Tutiiiii… jangan so tahu deh!” sumpah,Tuti bodohnya memang kelewatan. Ku percepat saja langkahku menuju kosan. Biar jarak dengan Tuti tidak terlalu dekat, dan orang tidak akan tahu mamalia primitip ini adalah teman dekatku sekarang.
***
Pagi ini aku datang labih awal ke kampus, agar bisa lebih lama belajar untuk UTS kimia kuantum. Aku menunggumu pagi ini. Tapi kamu belum juga datang, padahal semalam kamu memintaku untuk belajar kimia kuantum. Jelas, aku takkan menolak. Aku benci menunggu (sebenarnya). Menunggu itu adalah pekerjaan suram yang membuat otak mendidih dan kaki berjamur. Uh, aku benci. Tapi menunggu kamu aku merasa tak dirugikan sama sekali. Biarlah otakku mendidih,karena kamu yang akan menyejukkannya. Dan biarkan pula seluruh tubuhku menjamur, nanti kamu yang mengobatinya. Haha otak licikku.
Dari pandangan jarak jauh sosok jangkungmu sudah terlihat berjalan mendekati meja biru D5 yang ku duduki. Ini pemandangan luar biasa.
“ kita belajar di perpustakaan saja yuk!” ajak aku saat dia berjarak 2 langkah lagi menuju tempat dudukku. Aku tahu kamu adalah orang yang sangat sering menginjakkkan kaki di perpustakaan. Orang seperti kamu mana mungkin melewatkan untuk menghabiskan waktu di tempat buku bertengger. Makanya aku tidak khawatir saat mengajukan tawaran tadi.
“boleh. Aku juga ingin di perpus saja. Biar tidak terlalu berisik” jawabnya dengan tersenyum. Ah, jawaban yang sesuai dugaan.
Ini adalah kali pertama aku bisa berjalan denganmu berdua. Eh tidak. Kali kedua. Aku berharap jarak dari meja biru ke perpustakaan jauhnya adalah dari sabang-merauke. Tak apalah aku tempuh jarak ratusan kilo meter yang penting aku bisa memaandangi punggungmu yang berjalan. Rasa-rasanya sepanjang meja biru-perpus kembang api meletup letup lagi di atas kepalaku. Ah, indah. Ini tak mau padam sampai kita sudah sampai di dalam ruang baca dan mulai membuka buku. Saat kamu menuliskan rumus schrodinger tentang persamaan gelombang, kembang api itu semakin banyak di kepalaku. Dulu aku berpikir untuk bisa kembali ke masa lampau menghancurkan percobaan mas schrodinger, entah dengan menari nari di depannya atau menyanyi lagu Fals-eto, agar konsentrasinya hancur dan takkkan lahir rumus menggelikan itu. Tapi, jika tidak ada maka aku takkan bisa mengalami pengalaman seperti sekarang ini. Oh mas schrodinger, terima kasih banyak atas rumusmu yang mendekatkan aku dengan dia sekarang. Semoga engkau tenang di alam sana, dan silahkan melakukan eksperimen lagi untuk kau ajarkan pada malaikat-malaikat.
Terima kasih tuhan engkau telah memberi aku hadiah seperti dia. Berkatnya aku banyak belajar mengenai banyak hal. Tentang perasaan, menunggu, motivasi. Berkatnya otakku tidak terlalu kosong sekarang.Terima kasih tuhan telah memberiku keadaan seperti sekarang, kesempatan dimana aku kembali bisa mencuri pandang tehadapnya secara hati-hati. Dari setahun lalu, sampai sekarang.

Jam sudah menunjukan waktu ujian kimia kuantum akan dimulai. Dan aku masih menaiki tangga untuk mencapai ruangan. Sampai aku masuk, ternyata dia sudah mempersiapkan bangku untuk aku tempati. Dan itu tepat di samping kanannya. Senang bukan main ini.
Dalam rangka menghabiskan waktu sisa ujian, aku isi saja dengan mamandangi dia yang masih sibuk dengan kalkulator dan pulpennya. Kembali aku teringat pada kejadian perpustakaan tadi. Dimana kedua kalinya kita melangkah berdua. Yak kedua kali.

Malam itu masih aku ingat dengan baik. Malam kali pertama aku berjalan bersama denganmu. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, dan aku masih dalam kondisi memakai jaket himpunan milikmu. 140210100045. malam itu adalah malam pelantikan 2011 sebagai mahasiswa baru. Dan kamu datang terlambat dengan alasan tidak ada jahim yang dapat kamu pakai. Aku serahkan jahim yang ku kenakan dari tadi pagi. Hihi, maaf yak mungkin bau parfumku menempel di jahim kamu. Sebenarnya dengan memakai jahimmu saja, aku sudah sangat merasa senang. Tapi jika tidak ada kejadian kamu meminta ini kembali, maka tidak akan ada kejadian kamu mengajak aku menemui Danesh dan Rey di lapangan merah,untuk meminta pinjaman jahim yang lain. Dan tidak akan ada kejadian kita berjalan ke lapangan merah melewati gedung geologi itu.
***
Selesai kuliah hari itu hujan. Hujan yang deras, dan mengakibatkan aku harus menahan langkah untuk pulang. Kini aku berada di lobby D5 bersama anak lain juga yang ikut ter jebak hujan. Dan tidak ada dia. Dia selalu begitu, langsung melarikan diri jika kuliah sudah tak ada jam lagi. Batinku tersenyum.
Kembali ingatanku menuju tentangnya. Hujan begitu deras hari ini, dan melalui tiap tetesannya tuhan anugerahkan cinta untuk ummatnya. Memandangi hujan, airmataku tak terasa jatuh. Batinku serasa memaksa tuhan agar satu dari sekian ribu tetesan air yang turun, tuhan selipkan cinta padanya terhadapku. Rasanya aku seperti seorang pengemis yang selalu berharap tentang kehidupan bahagianya. Aku berusaha menahan perasaanku terhadapnya. Tapi ini sulit. Perasaanku tak pernah ada paksaan. Ah, ini juga adalah anugerah mencintainya. Ku sapu airmataku yang mulai memperlusuh mukaku.
Dari jauh aku melihat sebentuk aneh dengan jeleknya berdiri payungan. Ah, mamalia primitip itu. Tuti ternyata datang menjemputku dengan payung spongebobnya. Tuhan sudah menganugerahkan cinta lewat satu tetes hujan sore ini pada Tuti. Sampai dia mau berdiri basah menjemputku pulang.
“kamu sudah pulang? Kuliah lapangannya sudah selesai?” tanyaku sambil berjalan berdempetan di bawah satu payung bersama Tuti.
“iya. Orang Cuma satu hari kok.. tadi waktu aku pulang kamu belum kelihatan ada di kosan, dan cuaca hujan deras banget. Aku tahu kamu pasti gak bawa payung Ndri, makanya aku sengaja menjemputmu” baru kali ini aku mendengar Tuti bicaranya waras dan hampir membuatku menjatuhkan air mata lagi karena terharu. Dia memang teman yang sangat baik. Sangat baik.
***
Makan malam Tuti tidak habis. Lagi. Akhir-akhir ini dia memang selalu menyisakkan makanannya. bukan karena tingkah so elitnya yang kambuh, tapi gara-gara praktikum mikrobiologi dasarnya yang menuntut  bergaul seharian dengan Escherichia coli di ruang praktikum, mengakibatkan Tuti mondar-mandir ke toilet untuk melampiaskan bakteri yang sudah mampir di ususnya.
“ kamu mending periksain ke dokter lagi deh Tuti. Aku tahu itu karena kamu menghirup coli itu di laboratorium, tapi gak wajar kalau harus menguras berat badan 4 kilo. Mau jadi skeleton berjalan kamu?” Aku berusaha mengingatkan Tuti akan kesehatannya. Walau bagaimanapun aku sangat menyayangi Tuti. Aku tak mau melihat dia menderita dan kurus lemah tak ada daya.
“ gak usah ndri. Aku nanti makan lagi saja kalau lapar. Oh iya, kalau binatang invertebrata jenis artrophoda yang kamu suka apa?” dengan mengabaikan kekhawatiranku akan berat badannya, Tuti malah bertanya tentang mata kuliah invert. Di pikir aku pelahap serangga. Aku tak suka binatang apapun, aku sukanya dia.

Ah, aku teringat kamu menggambar sebuah binatang lucu. Bagiku lucu, meskipun saat aku menunjukkan pada Aneu dan Arif (sahabat kuliah), mereka lebih senang menyebut itu adalah gambar binatang yang gagal kloning dan jauh dari kata lucu.
Harus aku akui kalau gambar yang kamu buat sangat aneh. Kamu menyebut bentuk binatang aneh itu adalah komodo. Tapi, siapapun orang yang menilai gambar kamu, maka tidak bisa tahu itu adalah komodo. Lebih terlihat seperti binatang yang gagal kloning memang. Kali ini Aneu dan Arif benar. Hihi, aku hanya tertawa kecil saat dengan bangganya kamu menunjukkan gambar itu padaku.

“ hmmm, aku suka capung” jawabku asal. Tapi itu benar. Dari sederetan artrophoda seperti capung, nyamuk, kupu-kupu, belalang dan teman-temannya, aku lebih menyukai capung. Capung bagiku mainan menyenangkan saat zaman aku kecil. Dengan wajah setan aku tega mengikat ekor capung yang berhasil aku tangkap dengan benang, dan menjadikan layangan kecil yang menyenangkan. Mungkin saja, sekarang di surga sana capung-capung itu sedang terpuruk karena ekor mereka patah. Ampun pung.
“ kenapa kamu mendadak tanya seperti itu? mau menamaiku dengan nama capung cantik? Ahahahah” Aku tanya kembali dengan nada guyon yang selalu senang aku lakukan pada Tuti.
“ apa? Capung cantik? Gak salah Ndri? Kalau kutu beras sih aku menerima” kali ini Tuti membalas dengan ledekan mautnya.
“ ih enak aja, kamu tuh kecebong banci!!!” balasku tak mau kalah.
“gak, kamu yang kadal buntung!!!”
“bukan. kamu tuh mamalia primitip, petelor lemot, antek-antek ternggiling jawa, lalat gila, skeleton berjalan!!!”
Begitulah tragedi perang mulut yang terjadi di kamar Tuti. Sampai akhirnya kita tahu, anak kos yang hampir nyenyak dalam mimpinya, terpaksa beranjak dari tempat tidur untuk mengamankan adu binatang ini.
***
Pagi ini badanku serasa akan hancur. Bagaimana tak hancur, Tuti menindihku seenaknya saat dia melakukan adegan ngelindur saat tidur. Kebiasaan. Tadi malam dengan santainya dia menghantam badanku sambil mengigau iki ndak iso.. ndak iso.. ndak iso apanya coba? Iya, Tuti ndak iso aku maafkan. Huh. Benar tak ada daya upaya untuk megangkat tubuh yang masih terasa belum lurus. Dan aku lihat jam waker menunjukkan pukul 06.00.
“haaiiishhh.. hari kamis!!!” keluhku.
Keluhanku bukan karena hari kamis aku mendapat tindihan  Tuti yang mengakibatkan badanku encok berat, atau hari kamis dimana akan bertemu dengan dosen yang mngundang ngantuk, bukan pula hari kamis ini adalah hari terakhir masa tenggang modem laptopku. Tapi, hari kamis adalah hari kuliah penuh, dan menguras hati. Kamis minggu lalu aku melipat muka semalaman hanya karena melihat dia duduk sebelahan denga Hasna dan membuat dia mengabaikan aku. Aku cemburu.

Aku selalu cemburu saat kamu dengan yang lain. Aku cemburu saat dengan ringannya kamu melepas tawa, memperlihatkan keceriaan dengan selain aku. Aku cemburu saat kamu duduk di sebelah wanita lain. Aku cemburu saat kamu mendiskusikan pelajaran dengan orang disamping kamu dan itu bukan  aku. Aku selalu cemburu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.

Dan kamis ini aku tak mau lagi menanggung cemburu yang begitu menguras hati. Terserah orang mengatakan aku terlalu berlebihan. Terus apa hak mereka ? mereka juga takkan mengerti tentang perasaanku. Perasaanku memang selalu berlebih padanya. Dari setahun yang lalu sampai sekarang.
Dengan kerja keras aku bangkit dari tempat tidur, dan beranjak mandi. Aku tidak mau seperti Tuti yang pergi kuliah tanpa mandi.
***
Dan benar. Sekarang aku melihat pemandangan yang sangat aku tak suka. Dia tertawa renyah dengan Nanda. Meskipun aku tak tahu apa yang sedang mereka perbincangkan, tapi sudah pasti itu hal yang menyenangkan baginya. Bisa saja mereka sedang menertawakan aku yang sedang mengidap cinta bertepuk sebelah tangan. Atau, mungkin dia sedang berbicara tentang cinta bersama Nanda.
“jangaaaaan!!!” tanpa sadar aku berteriak sendiri, dan membuat seisi kelas memperhatikan kekonyolanku. Aneu dan Arif yang tahu isi pikiranku hanya tertawa kencang. Ih, dua orang ini.

kamu orang yang humoris, tapi bukan berarti bisa tertawa dengan siapa saja. Biasanya kamu selalu tertawa di depanku. Bersamaku. Karena setiap aku dekat denganmu, aku selalu ingin membuatmu bisa melepas diri dan merasa nyaman. Dan aku pikir, dengan membuat suatu lelucon akan berhasil membuat kamu memberi senyuman, bahkan tawa yang lebar. Aku selalu ingin melihatmu seperti anak kecil yang senang dengan mainannya. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.

Pemandangan menyakitkan ini belum juga berakahir. Entah apalagi yang mereka berdua bicarakan. Penghuni kelas bukan cuma mereka berdua dan aku yang terasingkan, tapi seisi ruangan sudah berjubel dengan orang yang siap mengahantam mata kuliah kimia fisik. Tapi pikiran dan pandanganku (yang sesekali) terhadap dia dan Nanda menguras konsentrasiku. Sampai akhirnya terlihat sosok lelaki sekitar umur 40 tahunan memasuki ruang kelas dengan menenteng laptop serta buku yang kulihat judul besarnya Kimia Fisik I. jelas dia adalah dosen yang akan memberi kuliah kimia fisik hari ini.
“ perkenalkan, jenengku Haryono. kulo arep ngajar kimia fisik satu, bab termodinamika di kelas ini sampai menuju ujian akhir…” aku tercengang. Ah, salah. Semua penghuni kelas kecuali pak Haryono, tercengang. Logatnya. Yak, logatnya yang khas sama seperti Tuti. Medok seantero jagad kimia.
Aku tertawa dalam hati saat dia mulai membicarakan hukum termodinamika, dengan nada persis seperti Tuti. Dan aku yakin yang lain juga seperti itu. bahkan aku lihat ada seorang anak lelaki, memotong kegiatan belajar dan izin pergi ke toalet. Itu alibi, batinku. Sesampainya di toilet, dia akan tertawa terbahak, sebagai komentar terhadap dosen yang satu ini.
Yang kulihat sekarang selebihnya pak Haryono seperti salesman, dengan omong kosong promosi tentang barang yang dibawanya. Kembali aku berpikir andai aku punya Ginnie, akan ku suruh dia membuang dosen dengan logat jawa ini ke jawa tengah. Tidak! Di lempar kesana akan semakin menjadi saja medok ajaibnya. Ahaha.
Kalau begitu aku meminta Ginnie membuang dia kedalam lubang kloset toilet wanita saja. Semakin dia berusaha muncul kepermukaan, semakin banyak yang akan mengguyur dia sampai tenggelam di lautan kloset. Aku sudad sangat penat dengan logat ini. Sudah cukup setiap malam mendengar Tuti bernyanyi lagu korea, dan terdengar lebih mirip Tuti sedang lengseran akibat medok tingkat dunianya. Dan sekarang aku mengalami gejala THT, dengan mendengarkan kuliah kimia fisik dalam bentuk pagelaran wayang selam 3 SKS. Saat ini nasib yang paling sial adalah aku. Aku.
Sampai aku menyadari dia duduk di sampingku. Ini mimpi? Jelas jawabannya tidak. Karena aku masih bisa merasakan sakitnya saat pipiku di cubit. Jelas bukan mimpi, karena aku masih melihat dan mendengar pak Haryono berceloteh tentang termodinamika.
Aku berusaha berpikir kenapa kamu duduk di samping aku. Bukankah tadi kamu dengan mudahnya bisa tertawa bersama Nanda? Yang membuat aku hampir membeludak. Membuat hatiku teriris. Dalam keadaan masih memandangimu diam-diam, aku berintuisi kamu sebenarnya tidak suka Nanda. Kamu tertawa karena mungkin Nanda sedang bercerita tentang kucing peliharaanya yang kepergok berendam di kamar mandi Nanda. Atau, Nanda bercerita bahwa dia adalah sejenis manusia pintar karena sering menelan bulat buku-buku bacaanya. Aku berusaha menyenangkan diri sendiri dengan imajinasi gila. Aku memang gila. Segila aku saat merindukanmu. Segila aku saat merasa kamu menjauh. Segila aku menyukaimu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.
Seperti biasa, dia sudah mulai terkantuk mendengar kuliah yang membosankan. Dengan posisi duduk dan melipat tangannya di dada, dia sedikit-sedikit mulai memejamkan matanya. Aku tersenyum. Dan inilah saatnya membuat dia tertawa agar tak merasa ngantuk. Sekaligus pembalasan dendam pada Nanda yang merampas dia tadi. Yang tanpa aku sadari Nanda juga duduk di sebelah dia. Huh.
Aku memancing dia dengan sebuah gambar yang ku torehkan di buku catatanku. Gambar itu adalah karikatur pak Haryono. Jika di ingat, sebenarnya aku berdosa besar terhadap pak Haryono. Tapi, tak apalah. Maaf yak pak.
Dia akhirnya bangun dari setengah sadarnya. Dan memberi seulas tawa. Ah, menyenangkan. Aku tak menyangka di awali dengan sebuah gambar konyol, akhirnya berlanjut dengan guyonan panjang. Tawanya sangat menyenangkan. Aku tak lagi berpikir kamis hari yang buruk. Karena ada dia, salah sau mata kuliahku yang penting. Maaf untuk pak Haryono dan Nanda. Imajiku tentang kalian di luar batas waras.
***
Aku membaringkan tubuh di tempat tidur, yang masih sangat terasa hampir hancur Berkat Tuti. Kulihat sepatu converse merah marunnya belum terlihat di rak sepatu, menandakan dia memang belum pulang dari kampus. Ini sudah mau pukul 18.00 saatnya setan-setan yang berkeliaran, bukan Tuti. Ah, kemana dia pulang telat.
Suara-suara teriakan anak kecil memecah kekhawatiranku terhadap Tuti. Aku hiraukan saja. Anak-anak kecil komplek kosanku memang sangat banyak, dan sedang aktifnya masa tumbuh mereka. Tenaga bermain mereka memang sedang dalam puncaknya, sampai jam seginipun masih saja terdengar tawa riang mereka. Tapi, semakin lama yang ku dengar bukanlah tawa riang, melainkan seperti teriakan polos dan histeris dari anak-anak kecil itu.
Ini membuat rasa penasaranku membesar. Ku tengok saja sumber suara itu dari jendela kamar kosku di lantai dua. Dan yang kulihat ternyata si mamalia primitip itu sedang menggoes odong-odong yang berhenti di depan kosan. Ya tuhan..
“ Tuti! Kamu ngapain main begituan? Ayo cepet masuk. Udah gede, dan ini jam berapa sempet-sempetnya ngegoes odong-odong!!! Cepet masuk” teriakku dari jendela yang semakin aku lebarkan. Ya tuhan, aku berusaha menerima dengan susah payah tentang medok luar biasanya. Dan sekarang Kau memberiku ujian yang lebih berat.
“ah, asik yak Ndri maen odong-odong. Aku jadi inget sepeda ontelku di Indramayu” Sambil menaiki tangga menuju lantai dua, Tuti berkata seolah-olah dia tidak melakukan hal yang bodo.
“ kamu ih bikin malu aja. Udah gede Tutiiii… inget umur. Masih aja sempet nyobain begituan! Aku mikirin kamu kenapa pulang telat, tapi kamu dengan asik maenin odong-odong…..” belum sempat aku selesaikan sesi memarahi Tuti, sudah terlebih dulu Tuti memelukku.
“makasih yak kamu udah mikirin aku, khawatirin aku. Heheheh”  ah, aku jadi tak bisa marah kalau begini. Pelukan berbau parfume Tuti dan bercampur keringat akibat energi yang di keluarkannya saat mengayuh odong-odong, meredakan amarah. Anadai saja di SEA GAMES ada cabang balapan odong-odong, maka kontingen dari Indonesia sudah dapat di pastikan adalah Tuti si mamalia primitip.
***
“ iya Ma, teteh udah makan… udah shalat… dan sekarang lagi belajar” jawabku di telepon genggam. Mamaku yang satu ini ( dan memang satu-satunya), memang rajin menelponku sehabis sahlat maghrib. Yang ditanyakannya takkan jauh dari makan, shalat, dan belajar. Dia cerewet seperti biasanya.
“ mama belum bisa jenguk kesana yak! bukan gak mau nak, tapi mama beneran sibuk. Nanti kalau ada waktu, mama jenguk ke jatinangor deh” Mama kali ini sedang membujukku karena janjinya yang tidak bisa dia tepati. Kemarin lusa saat dia menelpon, mama berjanji akan menjenguk kesini. Mama sudah lama tak menjengukku, terakhir 2 bulan yang lalu. Ah, aku sangat merindukan saat-saat menyenangkan bersama mama. Berbelanja, hunting makanan, dan mendiskusikan banyak hal.
Terakhir yang kami diskusikan dengan asik adalah tentang hot issue perkelahian Dewi perssik dan Julia perez. Di ranjang kosan yang tidak begitu luas, mengakibatkan aku dan mama mengalami posisi tidur yang membuat tak leluasa bergerak. Sempit. Dengan daster yang selalu menjadi kostum mama saat tidur, dan wangi tubuhnya yang khas mama memelukku sambil bercerita.
“ teh, menurut teteh kalau perkelahian antara Depe sama Jupe berlanjut di lokasi syuting itu, mana yang bakalan menang?” Mama memulai begossip ria.
“ mana teteh tahu ma. Teteh kan gak tahu yang mana yang lebih kuat. Lagian ngapain mama tanya begituan, mama mau ikutan berkelahi ama mereka. Hahah” jawabku guyon dalam keadaan di peluk mama erat. Saking eratnya, leherku sangklek tak karuan.
“ kalau kata mama sih yak, Jupe lebih kuat. Dia kan doyan olahraga, di tambah lagi Jupe dadanya lebih gedean dari Depe” sekarang mama mulai menduga-duga dengan alibi yang tak masuk akal.
“ ih, tahu darimana ma! Lagian itu gak bisa di jadiin alasan dia lebih kuat apa enggak. Malah nih yak, dengan dada yang gede Jupe akan lebih kesulitan menyerang Depe ma. Kan berat…. Hahahha” dan sekarang pula aku mulai terbawa dengan obrolan mama.
“ hahaha… anak mama Pinter juga!” jawab mama polos. Ha? Pinter? Dasar ibu-ibu. Anak Kodok juga tahu, dan mama bilang aku Pinter. Berarti aku dan anak kodok sama. Zzzzz..
“ ma, teteh sayang mama.. mama sering-sering yak jengukin teteh kalau ada waktu. Teteh kan jarang pulang. Sekalinya pulang juga gak bisa lam di rumah. Mama juga jaga makanan, jangan sampai sakit. Jangan terlalau banyak makan yang Manis ma, ntar mama diabetes lagi. Yak ma?”
“ma?”
“ma?”
Saat tak dengar jawaban mama, aku tahu dia sudah tertidur pulas. Ah, dasar tukang tidur. Tak tahu apa kalau aku latihan beribu kali untuk bisa berani mengatakan aku sayang mama, mengatakan aku begitu mengkhawatirkan mama. Sekalinya bisa bicara, aku di tinggal tidur. 
***
“ iya ma. Ntar teteh telepon lagi yak!” plip. Dan aku akhiri perbincanganku dengan mama di telepon. Mamaku selalu sibuk. Tapi seperti itulah dia menyalurkan kasih sayangnya buat anak. Semenjak ayah tak  ada, mama bekerja lebih keras untuk biaya hidup kami. Aku sayang mama.
Percakapanku dengan mama di telepon membuatku kehilangan cairan tubuh, dan tenggorokan kering. Ku tuang susu cokelat  segar ke dalam gelas, dan segera ku teguk. Di tengah aku menikmati tiap aliran susu itu di kerongkonganku,, blep! Lampu di kosanku mati. Sekejap aku tak mampu lagi mengalirkan sisa susu yang masih setengahnya di dalam gelas. Aku panik. Aku benci gelap. Aku segera menyusuri meja dengan tangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa aku pakai untuk penerangan. hingga akhirnya aku dapati lilin bersama korek api.
Suasana remang lilin kini menahanku untuk membaca buku Fessenden. Bagaimana bisa membaca, sementara aku begitu takut gelap. Dan di saat seperti ini, Tuti tak ada di kamarnya. Dia hanya mengirimkan sebuah pesan kalau dia sedang makan malam di luar. Menyebalkan. Terpaksa aku harus tetap menahan tubuh untuk bergerak bebas, dan hanya berbaring di bawah selimut. Aku benar-benar membenci gelap.
Pikiran hororku di saat gelap begini akan berkembang macam-macam. Aku selalu terbayang wajah Suzanna saat menggendong bayinya, dengan punggung bolong dan wajah berdarah. Atau seikat pocong yang menyeringai. Aku menggigil ketakutan dengan imajinasiku sendiri. Tiba- tiba ku dengar suara gerbang terbuka. Krreeekk. Di iringi langkah pelan dan suasana hening. Tak ayal lagi keringat dinginku mulai keluar dari pori-pori kulit. Dan sebuah bayangan yang terbentuk di kaca jendelaku. Hitam. Bayangan itu melayang-layang, dan suara langkah itu semakin mendekat. Aku harus berani,batinku. hantu  tidak mungkin memakan tubuhku. Yak, aku tahu aku manis. Tapi tetap saja hantu tak akan bisa memakanku,karena mereka sedang diet gula. Aku  harus berani menghadapi makhluk yang seharusnya tenang di alam sana.
Aku beranikan diri untuk membuka gorden jendela kamar. Memastikan apakah itu hantu atau bukan. Tidak berarti aku sebodoh itu untuk memastikan hantu. Tapi aku juga tak mau mati lampu mengundang maling. Cukup sudah pengalaman sepatu kesayanganku hilang digondol orang tak pengertian. Maling. Mereka tak mengerti betapa aku membutuhkan sepatu untuk kuliah. Huh.
Perlahan aku menggeser gordenku. Dan…
“ hantuuuu!!!!” teriakku saat melihat wajah menyeramkan tepat menempel di kaca jendelaku. Aku berdoa dalam-dalam semoga hantu itu tidak menggangguku dan mengurungkan niatnya untuk mencicipi dagingku.
“hei! Ini aku Tuti…. Maaf bikin kamu takut, tapi aku meninggalkan kunci kos di temanku, jadi bisa kamu tolong bukain pintunya?” suara medok Tuti memecah doaku yang ketakutan setengah mati.
“ beneran Tuti?” tanyaku meyakinkan apa yang di bicarakan orang di luar jendela itu. bisa saja hantu itu juga berasal dari indramayu atau Jawa, atau mungkin sedang trend logat macam Tuti di kalangan hantu Indonesia.
“ beneran Tuti. Cepetan bukain pintunya. Aku sudah kebelet pipis” kini aku yakin itu memang Tuti.
Aku buka pintu dengan keadaan tubuh yang sangat lemas gara-gara hantu menguras konsentrasiku. Dan benar Tuti yang sedang berdiri menahan pipisnya. Wajar, aku ketakutan saat melihat wajahnya tadi. Dia memang menakutkan. Hihi.
Kedatangan Tuti membuatku sedikit lega. Setidaknya aku tak ketakutan sendiri. Meskipun ada hantu, maka akan ada teman ketakutan. Bahkan hantu akan lebih tertarik pada Tuti, yang wajahnya pas untuk menjadi salah satu komplotan mereka. Ditemani lilin yang mulai mengecil, aku dan Tuti merebahkan tubuh diatas  karpet hijau kamar Tuti. Kalau di lihat, karpet hijau ini memberi kesan kamar Tuti seperti mushala. Aku hanya tersenyum kecil.
“ ndri, tadi sore air kamar mandiku gak keluar lagi” cerita Tuti tentang kamar mandinya. Seperti biasanya keran di kamar mandi Tuti memang suka sekali macet. Ah, bahkan keran air pun tahu mana kawan dan mana lawan.
“ aku tuh udah sakit perut banget ndri. Jadinya aku ambil air dari wastafel tempat jemuran deh!” Tuti melanjutkan cerita sore harinya.
“ yang penting kan kamu bisa bersih-bersih setelah poop.. lagian kamu udah kayak musuhan sama kamar mandi sendiri. Jarang di bersihin. Pantes aja kalau keran aja nolak kamu sentuh” jawabku sinis, mengkomentari kebiasaan jorok Tuti yang selalu malas mensuras kamar mandi.
“nah, itu dia masalahnya Ndri. Pas aku ambil air, aku udah poop. Aku baru sadar keran lagi macet setelah aku keluarin semuanya. Terpaksa aku bersihkan dengan tissue dulu, dan sarungan ngambil buat nampung air di wastafel luar” paparnya.
Hi? Tissue dulu? Artinya Tuti mengambil air dalam kondisi dia belum… ih, Tuti jorok! Ampun deh. Mendengarnya saja aku bisa membayangkan bagaimana konyolnya dia saat menampung air. Atau saat dia sedang santainya menyetor, tanpa memikirkan kalau semua yang berada di kamar mandi sedang memusuhi dia. Segera saja kau menutup telinga. Aku tak mau mendengar cerita horor macam ini tentang Tuti. Dasar mamalia primitip.
***
Dan hari ini sangat membuatku geram. Kuliah hari jumat adalah yang paling instan. Belum karena Cuma satu mata kuliah, dosen mata kuliah kimia norganikpun selalu keluar lebih cepat dari seharusnya. Dua faktor itulah yang membuatku tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama. Lebih lama duduk di sampingnya. Lebih lama memandangi wajahnya. Lebih lama melihat dia meracau tanpa henti. Lebih lama membuat aku ke-Gran setengah mati.
Jam 12.50 aku baru sampai di gedung D5. dan segerombol orang sudah berserakan di sekitar gedung ini. Aktifitas yang menjadi suasana lazim setiap hari disini. Ada yang begitu sibuk dengan tugas yang belum mereka kerjakan. Di seberang kiri aku lihat orang-orang dengan serius membahas rapat angkatan. Dan dari meja biru sudah kulihat Aneu melambaikan tangan padaku.
“ kenapa baru kelihatan jam segini?” tanya Aneu. Aneu adalah satu-satunya orang yang menurutku sangat mengerti perasaanku terhadap dia. Tanpa harus aku ceritakan, dia akan tahu kondisiku. Sedih atau Bahagia. Dialah orang pertama yang membuatku merasa nyaman masuk jurusan kimia. Sahabat yang sangat baik, seperti Tuti.
“ aku malas. Lagian kuliah juga sesiang ini, kita langsung ke kelas yuk!!!” ajakku yang sama sekali tak menghiraukan Aneu yang sibuk membuat bahan presentasi kimia fisiknya.
“ baru juga kamu dateng. Duduk dulu aja. Ters lihatin tuh orang depan kamu. Hihihi” kali ini Aneu malah mengalihkan ajakanku, sambil menarik tangan agar tubuhku duduk di meja biru. Alhasil dengan kekuatan supernya, dia behasil menjatuhkanku.
Dan sekarang Aneu membuat kakiku sakit. Pandanganku menerawang lurus ke arah depan. Kemeja kotak-kotak ungu. Ransel hitam yang aku suka. Jam tangan silvernya, dan sepatu abunya. Dia disana. Tepat di depanku. Ya tuhan, terimakasih Engkau masih memberiku kesempatan luar biasa ini.
“ gimana? Masih berpikir untuk masuk ke kelas sekarang?” Aneu mulai menggodaku. Tak ayal lagi aku langsung memeluk Aneu dengan erat.
“makasih Aneu.. aku sayang sama Aneu. Kamu emang sahabat yang pengertian” bagiku dan bagi orang yang tahu aku menyukainya, terutama Aneu. Dia sudah seperti makanan pokok yang wajib di santap. Jika tidak, maka sisa energiku akan cepat habis. Dia seperti kebutuhan bagiku. Seperti pelembab yang ku pakai setiap pagi. Seperti fessenden yang harus ku pelajari.
Waktu tak mengijinkanku untuk terus memandanginya. Aku dan Aneu segera masuk ke ruang kuliah.
***
Aku segera mengambil langkah untuk pulang. Hari ini sudah terlihat mendung dan aku tidak mau sepatu yang baru ku cuci harus merasakan ketidak adilan cuaca. Betapa susahnya menghilangkan noda tanah di sepatu putih.
Dan jam di ponselku menunjukkan pukul 16.10 wib. Angkot gratis Unpad sudah tidak berkeliling lagi jam segini. Dan aku harus berjalan. Sial.
“ bareng yuk pulangnya!!!” seseorang dari arah belakang menghentikan langkahku dan memaksaku membalik badan.
Yah, dia lagi. Aziz. Aku tidak suka orang ini. Meskipun dia adalah salah satu orang yang tahu aku menyukainya, tapi pribadinya yang berlaga tahu semua hal, membuatku enggan berlama-lama dengannya.
Aku masih ingat saat aku menikmati fokusnya belajar organik untuk UTS, dia dengan tidak diundang datang ke tempat kosku. Tak apa jika memang ikut belajar. Tapi dia malah membuat keributan, yang membuatku hampir kehilangan kesabaran.
Itu tak seberapa, di banding semua anak kelas tahu aku menyukainya. Dan dengan mulut cucak rowonya aziz menyebar luaskan.
“ hmm? Bareng? Silahkan.. tinggal jalan aja kan” jawabku sinis.
“ kok sendirian? Kenapa gak bareng dia?” tanya aziz sedikit menyindir.
“ lah, emang aku siapa dia? Aku suka dia, bukan berarti aku berhak mengatur hidupnya. Sekalipun aku jadi pacar dia, aku gak akan pernah membatasi hidupnya atau mengatur keperluannya. Hidupnya hanya punya dia” kini aku mulai emosi mengadapi makhluk sok tahu ini.
“ hahaha, iya becanda. Emang sesuka apa sih kamu sama dia? Kalau suka biasa aja mending kamu lupain dia daripada membuat pikiran kamu susah”
“ susah? Namanya suka mah kan gak akan ada yang tahu kapan datangnya. Yang ada sekarang kata ‘susah’ berlaku buat aku bersikap biasa aja depan dia, susah buat gak suka” jawabku dengan tetap berusaha meredam emosi. Aziz ini orang yang baik memang. Dia memperlakukanku sebagai adik, memperhatikanku setiap saat, tapi di balik itu semua rasa penasaran yang berlebihan Aziz membuatku mengurangi nilai 10-nya menjadi 7.
“ ternyata susah yak?” pertanyaannya muncul kembali, dan terdengar seperti bertanya apa aku cewek atau cowok. Jelas dia tahu jawabannya apa.
“ yang terpenting aku suka dia karena baik. Pribadinya tidak banyak neko dan otaknya cerdas. Pandai bergaul dan luwes kalau bicara. Sosok teman yang menyenangkan, dan akulah yang payah.. benar-benar payah karena harus suka padanya. Ini pasti akan menjadi jarak bagi kita suatu saat… ah, tap dia bukan orang seperti itu dia baik… …… “
Dengan semena-mena sekarang aku sendiri yang malah memberitahu apa yang aku pikirkan sekarang tentang dia. Ini fatal. Mulutku sudah tidak bisa terkontrol sekarang jika menyinggung masalah dia. Sepertinya dia sudah menjadi rangsangan khusus pada sel syaraf motorik. Ah bicara apa ini, orang bahkan takkan peduli apa yang aku katakan. Dan semoga makhluk yang berjalan disampingku ini juga takkan peduli.
“ehm, ehm…” suara deham ini muncul dari arah belakang kita. Pertama aku abaikan.
“ehm,ehm…..” keduakali terdengar lagi desaman yang nadanya lebih ke arah iseng dan menyebalkan. Dan kedua kalinya aku tak menghiraukan.
“ yak ampun yang lagi curhat sombong banget….” Ketiga kalinya… ha!!! Ini kan suara… ku lirik hati-hati mataku ke arah Aziz, dan dia sedang asik menyengir kuda. Menandakan dia sudah tahu siapa yang ada di belakang kami, Danesh. Ku kedip-kedipkan mataku padanya, memberi isyarat untuk mempercepat langkah. Perasaanku sudah mulai tidak enak. Keringat dinginku mulai keluar.
“ ini kenapa jadi pada cepet banget jalannya? Wah sombong nih,” ketakutanku semakin besar lagi, mendengar suara ke empat kalinya dari arah yang sama. Dan suara keempat ini adalah suara DIA.
Perasaanu mulai tak karuan. Langkahku lebih terlihat seperti orang menahan pipis. Mukaku pucat pasi seperti saat anemiaku kambuh. Ku tarik saja tangan Aziz tanpa melihat ke belakang agar terus disampingku, dan meyakinkan dia tidak berinteraksi dengan Danesh dan DIA yang langkahnya mulai mau menyamai aku dan Aziz, bahkan tepat di samping kita.
Aku tak peduli apa yang ada di pikiran Danesh dan dia tentang sikapku yang memang mendadak mencurigakan. Tapi yang aku pedulikan sekarang hanya menjauh dari mereka, berpura-pura tidak tahu, dan berharap mereka tak mendengar sedikitpun apa yang sedang aku perbincangkan daritadi. DARITADI??? Kata ini membuatku tersadar, mungkin dari mulai aku membicarakan dia, mereka sudah ada tepat di belakang kita?? Ya ampun, ini malapetaka. Sebaiknya aku mempercepat langkah lagi. Dan sekarang sudah terlihat seperti orang di pertandingan maraton.
***
Sekarang posisiku sudah berkeringat dingin di dalam kamar. Pikiranku mulai kacau dan timbul banyak pertanyaan. Apa dia mendengar? Apa dia tahu? Bagaiman reaksi dia? Bagaimana kalau aku bertemu dia, dan dia bertanya padaku? Aku tak tahu sekarang harus berbuat apa. Jika saja dengan memasukkan kepala kedalam bak mandi memberi jawaban terhadap pertanyaanku, maka akan kulakukan.
Tapi yang lebih penting dari itu, memastikan mereka tahu atau tidak perbincangan aku dan Aziz sepanjang jalan tadi. Ya tuhan, buatlah mereka amnesia ringan. Amnesia? Ah tidak, tidak. Aku pastikan dengan amnesia yang akan terhapus dari memory mereka pasti aku. Aku bukan teman yang baik buat mereka. Dengan amnesia  bisa saja mereka kehilangan memory mata kuliah organik, dan itu akan menjadi masalah paling besar.
Kalau begitu ya tuhan, buat mereka kehilangan memory untuk hari ini saja, jika bisa di block momento menyeramkan tadi dan ENGKAU boleh mendeletenya. Bodoh, ini bukan saatnya mengkhayal.
“ tuti, aku mau minta pendapatmu?” tanyaku datang tiba-tiba di kamar Tuti. Membuatnya setengah ketakutan karena kaget.
mbo yok koe ketuk pintu dulu ndi, itu kenapa lagi mukamu Pucet kayak wayang?” pertanyaanya tingkat kurang ajar. Tapi apa daya, aku sudah tak ada daya untuk memberi dia jurus monyet cantik-ku.
“ gak usah bahas kenapa wajahku begini. Yang harus kamu pikirin gimana caranya membuat dia dan danesh lupa kejadian hari ini” ku rebahkan tubu di ranjang Tuti yang berseprai Ben10 hijau, dan membuatku berasa tidur di atas karpet mushala.
“ koe kenapa toh? Kejadian apa? Iki tuh ndak ngudeng opo yg km bilang… opo coba koe dateng ga izin, dan sekarang ngomongnya ngawur. Iki tuh ndak tahu masalahnya” si mamalia primitip ini kembali mengeluarkan bahasa aneh dengan logat luar biasanya. Aku ceritakan padanya tentang kejadian naas hari ini.
“ jadi apa saranmu Tuti? Apa aku pastiin aja dengan sms dia? Tanya apa dia denger atau gak?”
“…….”
“ Tut, ada saran gak?” tanyaku lagi.
“……..” tetap taka da jawaban. Dan dengan enaknya dia tidur pulas. Tutiiiiiiii.
***
The end
Dari mulai saat itulah aku merasa takut saat berhadapan denganmu. Aku takut kamu tak memiliki perasaan yang sama, dan akhirnya kamu menjauhiku. Meskipun kamu meyakinkan bahwa tak mendengar apapun percakapanku saat itu, tapi suatu saat kamu akan tahu perasaanku. Perasaan dari setahun yang lalu sampai sekarang.
Musim telah berubah. Namun perasaanku padamu tak berubah. Sebisaku menghilangkan ini dengan berbagai cara, tapi itu tak membuahkan hasil. Gagal. Dan akhirnya aku memutuskan membiarkanku menyukaimu sebanyak yang hatiku inginkan. hingga akhirnya berbuah menjadi perasaan yang lebih dari suka.
Aku tidak pernah mendengar kalau menyayangi lawan jenis itu salah. sekalipun menyayangi sosok luar biasa seperti kamu. Yang aku dengar dan aku tahu perasaan itu bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Dan mungkin Allah mengirim ini untukmu.
Sekarang yang aku inginkan darimu. Dari sosok berambut jelly, berkemeja rapi, berjam tangan silver dan sepatu abu-abu, adalah kamu tahu apa yang aku rasakan. Tak penting apa jawabanmu, yang terpenting setelah kamu tahu perasaanku, tak ada jarak antara persahabatan yang sudah sangat menyenangkan antara kita. Anggaplah semua cerita tentangmu adalah hadiah kecil dalam memberiku pelajaran tentang perasaan.
Aku selalu berdoa suatu saat Allah akan mempermudah keadaan antara kita. Entah itu dengan membiarkan kita bersatu. Entah pula dengan menghapus semua perasaan yang aku miliki untuk kamu.
Saatnya aku mengatakan ini. Padamu. Yang aku simpan dari setahun yang lalu sampai sekarang. Aku sayang kamu. Egy safriandi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar