Seprai ini terasa dingin.
Bantalnya dingin. Selimut dan gulingnya pun dingin. Sama seperti halnya suasana
hati yang seolah terkurung dalam timbunan salju. Beku. Perih. Dalam keadaan
terlentang dan tak bahagia, aku menatap langit-langit yang bisu, ikut tenggelam
nampaknya dengan apa yang aku rasakan.
Aku melirik jam di
ponsel, ini sudah pukul 9 malam. Dan entahlah, aku hanya ingin waktu bergerak
lebih cepat. Mendengat takbir diluar
rasanya sedih. Sendiri. Aku kini mengalihkan pandanganku padanya. Dia juga sama
bekunya. Nina sama kesepiannya denganku. Kita berdua merasakan beku ke ulu
hati. Pikiran kita tertuju pada rumah yang pululan bahkan ratusan kilometer
jauhnya. Dan kita sama-sama menginginkan
malam iedul adha disana.
Yak, iedul adha kali ini kita berdua terjebak di
kota yang biasanya larut dalam lautan mahasiswa. Jatinangor.
“sedih yak Nin, kita mendengar takbir tanpa
keluarga. Melewatkan hari besar tanpa keluarga besar” cetusku memandang kosong
kembali langit-langit.
“iyak. Biasanya malam takbiran begini, Nina dan
keluarga lagi di rumah Mbah. Tapi sekarang tidak” Nina menghela napas panjang
dan semakin larut dalam kesedihan.
“untung masih ada Nina. Meskipun gak di rumah,
Indri seneng melewatkan iedul adha sama Nina” Aku tersenyum kecil.
“Nina juga tetep seneng, setidaknya dengan Indri
menginap disini, Nina ada teman dan gak terlalu kesepian” sama halnya denganku,
Nina tersenyum kecil.
Ajaibnya. Setelah mendengar itu akau merasakan
salju yang menimbun hati dan pikiranku mulai mencair sedikit demi sedikit. Entahlah,
hanya saja terasa lebih ringan dan hangat. Seolah ada sedikit api yang sedang
menjalar dari ujung jari.
Takbir di luar masih syahdu berkumandang. Aku memang
masih rindu rumah, rindu yang lebih tenang. Tak seperih tadi. Disadari atau
tidak, itu berkat Nina. Melewati hari besar bersama Nina lah yang Tuhan mau. Agar
aku sadar. Agar Nina sadar. Selama kita saling mengasihi, kita adalah keluarga.
Seprainya hangat. Selimut,
bantal dan gulinganya kini hangat. Langit-langit seolah ikut tersenyum melepas
beban yang sedari tadi aku pandangi dengan wajah dutekuk. Takbir yang terdengar
perih, kini menjadi alunan yang mengiringi canda tawa aku dan Nina malam ini,
di balik setumpuk rindu untuk rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar