Kamis, 25 Oktober 2012

Setumpuk Rindu Untuk Rumah


Seprai ini terasa dingin. Bantalnya dingin. Selimut dan gulingnya pun dingin. Sama seperti halnya suasana hati yang seolah terkurung dalam timbunan salju. Beku. Perih. Dalam keadaan terlentang dan tak bahagia, aku menatap langit-langit yang bisu, ikut tenggelam nampaknya dengan apa yang aku rasakan.
Aku melirik jam di ponsel, ini sudah pukul 9 malam. Dan entahlah, aku hanya ingin waktu bergerak lebih cepat. Mendengat takbir diluar rasanya sedih. Sendiri. Aku kini mengalihkan pandanganku padanya. Dia juga sama bekunya. Nina sama kesepiannya denganku. Kita berdua merasakan beku ke ulu hati. Pikiran kita tertuju pada rumah yang pululan bahkan ratusan kilometer jauhnya. Dan kita sama-sama  menginginkan malam iedul adha disana.
Yak, iedul adha kali ini kita berdua terjebak di kota yang biasanya larut dalam lautan mahasiswa. Jatinangor.
“sedih yak Nin, kita mendengar takbir tanpa keluarga. Melewatkan hari besar tanpa keluarga besar” cetusku memandang kosong kembali langit-langit.
“iyak. Biasanya malam takbiran begini, Nina dan keluarga lagi di rumah Mbah. Tapi sekarang tidak” Nina menghela napas panjang dan semakin larut dalam kesedihan.
“untung masih ada Nina. Meskipun gak di rumah, Indri seneng melewatkan iedul adha sama Nina” Aku tersenyum kecil.
“Nina juga tetep seneng, setidaknya dengan Indri menginap disini, Nina ada teman dan gak terlalu kesepian” sama halnya denganku, Nina tersenyum kecil.
Ajaibnya. Setelah mendengar itu akau merasakan salju yang menimbun hati dan pikiranku mulai mencair sedikit demi sedikit. Entahlah, hanya saja terasa lebih ringan dan hangat. Seolah ada sedikit api yang sedang menjalar dari ujung jari.
Takbir di luar masih syahdu berkumandang. Aku memang masih rindu rumah, rindu yang lebih tenang. Tak seperih tadi. Disadari atau tidak, itu berkat Nina. Melewati hari besar bersama Nina lah yang Tuhan mau. Agar aku sadar. Agar Nina sadar. Selama kita saling mengasihi, kita adalah  keluarga.
Seprainya hangat. Selimut, bantal dan gulinganya kini hangat. Langit-langit seolah ikut tersenyum melepas beban yang sedari tadi aku pandangi dengan wajah dutekuk. Takbir yang terdengar perih, kini menjadi alunan yang mengiringi canda tawa aku dan Nina malam ini, di balik setumpuk rindu untuk rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar