“
eh aku dong,, aku juga mau..”
“
ya udah deh aku juga ikutan ah, aku mau juga ya satu”
Mau.
Mau. Mau. Semua orang berisik berebutan formulir pendaftaran. Heran, form apa
sih yang mereka ributkan, sampai membuatku bertambah pusing, setelah setengah
mati mengerjakan soal-soal físika di kelas tadi. Brengsek memang orang zaman
abad lalu yang karena keisengan mereka, akhirnya tumbuh merajalela rumus-rumus
menakutkan.
Kalau
saja ada mesin waktu, aku akan kembali ke masa kejayaan Einstein, Coulomb atau
siapapun itu, akan aku culik dan aku kurung mereka agar tidak melakukan
eksperimen-eksperimen konyol yang membuat generasi di zamanku cacat mental.
Benci físika. Ah sayang, tidak ada mesin waktu. Khayalan bodoh indri.
Sementara
aku menyelesaikan peperangan batin dengan pelajaran físika, teman-temanku masih belum menyelesaikan aksi ribut mendapatkan formulir
yang sedari tadi beredar.
“ form apa sih?
Berisik banget dari tadi.” Akhirnya aku
penasaran.
“ GANALA ndri, mau
ikutan gak lu?” Widya yang dari tadi ikut berebut akhirnya mendapat formulir.
“ gue lihat ah!” tanpa
pikir panjang ku rebut saja selembaran berwarna kuning itu.
Garba hita bharuna sabhatula. Atau di singkat
dengan nama ganala yang disebut Widya tadi menjadi judul form itu. Aku malas
bertele-tele, ku bolak-balik saja selembaran itu berharap mendapat kesimpulan
apa itu Ganala.
“ eh, kalau lu pingin
ikut, minta formnya ke Susan. Ini punya gue” Widya merampas kembali barang yang
mungkin menurutnya sudah aku ambil paksa. Sambil bermimik manyun dia membaca serius
form itu dan mengisinya.
“ Ganala apa sih Wid?
Dari tadi anak-anak dan termasuk lu, ribut banget rebutan formulir itu.” Aku
tanya sajalah pada Widya apa Ganala.
Widya tetap saja
membungkuk di meja biru D5 mengisi biodata sesuai perintah isiannya. Sialan aku
di cuekin. Tanpa mengubah mimik dan gurat di wajahnya, dia benar-benar
mencampakkan aku. Huhu. Ingin ku pukul saja kepalanya dengan jangka yang sedang
ku pegang, agar dia tersadar kalau aku sedang duduk di sampinganya dalam
keadaan penasaran. Sayang, dia sahabat karibku, tak mungkinku lakukan itu.
Kecuali dalam keadaan mendesak. Haha.
“ Widya, jawab gue.
Ganala apa? Emang penting lu ikutan itu sementara lu gak tahu Ganala apaan”
“ Karena itu gue tahu
apa Ganala, ya gue ikutan. Lagian lu berisik banget deh, gue lagi konsentrasi
nih ngisi biodatanya. Ganggu orang aja” Akhirnya Widya menoleh pandangan
padaku, meskipun dengan wajah sedikit beram, karena ku ganggu konsentrasinya.
Ya tuhan, kemasukan apa ini sahabatku.
“ Ini divisi kampus.
Salah satu kegiatan non akademik, semacam anak-anak pencinta alam” Widya mulai
tenang. Hah, aman. Aku pikir dia akan mencakar-cakarku.
“ hah, lu mau ikutan
kegiatan begituan? Kan capek. Pasti fisik di kuras habis, olah raga terus, naik
gunung juga, ih panas... yang paling penting lagi, kalo lu sakit perut di hutan
dan gak ada toilet,nah susah tuh”
“hmmm_?? Lu tau gimana
kegiatannya aja belum, udah asal nyerongot aja. Lagian mikir lu kejauhan tau, ngebahas
rutinitas pagi hari lu.. ya kalaupun sakit perut ya tinggal ‘poop’ alam bebas”
Widya membela habis-habisan Ganala, dengan menyepelekan kemungkinan yang aku
sebutkan. Uh.
Total bete
menggerogotiku. Terserahlah apa yang dilakukan orang-orang, lebih baik mencari
tempat meditasi terbaik atas stres fisika yang aku alami. Perpustakaan. Yah,aku
sebaiknya kesana. Saat aku beranjak dari bangku meja biru kimia,tak sengaja
kulihat sosok tak wajar, ah bukan ajaib, bukan juga. Yang jelas mungkin setiap
yang melihatnya merasa segan dan sedikit takut. Rambutnya panjang untuk ukuran
laki-laki, berkacamata tebal dan jelas penampilannya tak biasa.
“yee, malah cengo.
Ngapain lu malah berdiri bego kayak gini? Katanya mau ke perpus..” Ah sial.
Widya mengagetkanku. Padahal aku belum sempat berimajinasi tentang orang yang
baru saja kulihat.
“kampret lu ngagetin
gue. Gak, gue Cuma penasaran tuh orang siapa?”
“yang pake kacamata itu?
Itu Zaro Ganala” jawab Widya dengan santainya.
“ha? Zaro? Keren amat ya
tuh nama. Kenapa gak Zoro aja,kan cocok tuh. Sama-sama pake kacamata. Hehehe..
Pahlawan bertopeng dengan pedangnya. Jangan-jangan dia utusan yang ntarnya akan
jadi pahlawan di kimia” Imajinasiku jadi muncul tba-tiba,total aku jadi
cengengesan.
“gini nih yang gak tahu
informasi. Norak” Jawab Widya mendadak naik darah.
“informasi apaan?
Beneran ya dia pahlawan? Berapa banyak penjahat yang udah dia tumbangin? lah,
kok gue baru tahu sih?” Dengan penasarannya aku kembali bertanya.
“lu tuh kalau
berimajinasi jangan berlebihan cumi. Lagian siapa yang mau bilang dia pahlawan
yang mirip Zoro. Gue bilang dia Zaro, dan itu bukan namanya. Zaro itu ketua
divisi Ganala, disebutnya Zaro. Nama aslinya mah kang Hamdi kali. Makanya, otak tuh
kritisnya buat hal berguna, ini malah sibuk bikin imajinasi aneh-aneh.” Widya
menjelaskan panjang dan kali lebar sejelasnya tentang sosok yang tadi aku
lihat.
“ooh,kirain. Hehehe. Pantesan aja
tampilan luarnya udah beda. Tanyain gih punya pedang gak?biar imajinasi gue
makin kuat tentang replikanya sebagai Zoro” Kaliku iseng saja bicara.
“ih dasar. Gue bilangin loh ama kang
Hamdinya. Lagian asal lu tahu juga, Zaro tuh punya semca senjata juga, cuma
bentuknya pisau dan yang boleh pegang cuma Zaro.” Widya kembali berpanjang
lebar, dengan mimik dan intonasi yang mebuatku takut.
Wah, berarti khyalan gue yang Widya
bilang berlebihan itu gak salah. Dia, kang Hamdi itu Zoronya Indonesia.
Hmm,mungkin dia akan menumpas dosen-dosen garang yang kabar burungnya bilang
banyak berkeliaran di D5 ini. Ah, baguslah. Jadi aku tak perlu repot meminjam
mesin waktu untuk menculik ilmuan masa lalu, karena sekarang sudah ada pahlawan
yang akan menumpas dosen yang jadi utusan ilmuwan-ilmuwan itu.
“dan lu salah satu yang akan dia tumpas,
karena udah mikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan dia sudah mencium bau penjahat
di sekitar gedung ini, dan suatu saat sampai di lu” Widya melengkapi khayalan
gue tapi sekaligus menghancurkannya.
“lah? Gue? Penjahat?” aku terkaget
mendengar omongan Widya.
“iyalah. Lu udah mikir aneh-aneh kan? Lu
sebaiknya mencari tempat persembunyian terbaik lu sana. Sebelum dia dateng nyamperin
lu” Sahabatku yang kampret ini semakin menjadi menakutiku.
Tanpa pikir panjang aku segera melarikan
diri. Benar, mungkin saja dia yang akan menyerangku. Mungkin baginya aku adalah
musuh. Ah, aku harus bersembunyi di gua peristirahatan terbaik bagi orang yang mentalnya
sedang labil, tempat meditasi luar biasa, dan sekaligus tempat berlindung dari
pahlawan yang malah berbalik menyerang. Perpustakaan.
“heh, mau kemana lu? Berlindung diri? Gue
Cuma bercanda ndri. Tunggu gue. Hey!!!” widya berteriak sambil mengejarku.
TO BE CONTINUED..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar