Rabu, 24 Oktober 2012

GANALA (Garba Hita Bharuna Sabhatula)


“ eh aku dong,, aku juga mau..”
“ ya udah deh aku juga ikutan ah, aku mau juga ya satu”

Mau. Mau. Mau. Semua orang berisik berebutan formulir pendaftaran. Heran, form apa sih yang mereka ributkan, sampai membuatku bertambah pusing, setelah setengah mati mengerjakan soal-soal físika di kelas tadi. Brengsek memang orang zaman abad lalu yang karena keisengan mereka, akhirnya tumbuh merajalela rumus-rumus menakutkan.
Kalau saja ada mesin waktu, aku akan kembali ke masa kejayaan Einstein, Coulomb atau siapapun itu, akan aku culik dan aku kurung mereka agar tidak melakukan eksperimen-eksperimen konyol yang membuat generasi di zamanku cacat mental. Benci físika. Ah sayang, tidak ada mesin waktu. Khayalan bodoh indri.
Sementara aku menyelesaikan peperangan batin dengan pelajaran físika, teman-temanku masih belum menyelesaikan aksi ribut mendapatkan formulir yang sedari tadi beredar.
“ form apa sih? Berisik  banget dari tadi.” Akhirnya aku penasaran.
“ GANALA ndri, mau ikutan gak lu?” Widya yang dari tadi ikut berebut akhirnya mendapat formulir.
“ gue lihat ah!” tanpa pikir panjang ku rebut saja selembaran berwarna kuning itu.
 Garba hita bharuna sabhatula. Atau di singkat dengan nama ganala yang disebut Widya tadi menjadi judul form itu. Aku malas bertele-tele, ku bolak-balik saja selembaran itu berharap mendapat kesimpulan apa itu Ganala.
“ eh, kalau lu pingin ikut, minta formnya ke Susan. Ini punya gue” Widya merampas kembali barang yang mungkin menurutnya sudah aku ambil paksa. Sambil bermimik manyun dia membaca serius form itu dan mengisinya.
“ Ganala apa sih Wid? Dari tadi anak-anak dan termasuk lu, ribut banget rebutan formulir itu.” Aku tanya sajalah pada Widya apa Ganala.
Widya tetap saja membungkuk di meja biru D5 mengisi biodata sesuai perintah isiannya. Sialan aku di cuekin. Tanpa mengubah mimik dan gurat di wajahnya, dia benar-benar mencampakkan aku. Huhu. Ingin ku pukul saja kepalanya dengan jangka yang sedang ku pegang, agar dia tersadar kalau aku sedang duduk di sampinganya dalam keadaan penasaran. Sayang, dia sahabat karibku, tak mungkinku lakukan itu. Kecuali dalam keadaan mendesak. Haha.
“ Widya, jawab gue. Ganala apa? Emang penting lu ikutan itu sementara lu gak tahu Ganala apaan”
“ Karena itu gue tahu apa Ganala, ya gue ikutan. Lagian lu berisik banget deh, gue lagi konsentrasi nih ngisi biodatanya. Ganggu orang aja” Akhirnya Widya menoleh pandangan padaku, meskipun dengan wajah sedikit beram, karena ku ganggu konsentrasinya. Ya tuhan, kemasukan apa ini sahabatku.
“ Ini divisi kampus. Salah satu kegiatan non akademik, semacam anak-anak pencinta alam” Widya mulai tenang. Hah, aman. Aku pikir dia akan mencakar-cakarku.
“ hah, lu mau ikutan kegiatan begituan? Kan capek. Pasti fisik di kuras habis, olah raga terus, naik gunung juga, ih panas... yang paling penting lagi, kalo lu sakit perut di hutan dan gak ada toilet,nah susah tuh”
“hmmm_?? Lu tau gimana kegiatannya aja belum, udah asal nyerongot aja. Lagian mikir lu kejauhan tau, ngebahas rutinitas pagi hari lu.. ya kalaupun sakit perut ya tinggal ‘poop’ alam bebas” Widya membela habis-habisan Ganala, dengan menyepelekan kemungkinan yang aku sebutkan. Uh.
Total bete menggerogotiku. Terserahlah apa yang dilakukan orang-orang, lebih baik mencari tempat meditasi terbaik atas stres fisika yang aku alami. Perpustakaan. Yah,aku sebaiknya kesana. Saat aku beranjak dari bangku meja biru kimia,tak sengaja kulihat sosok tak wajar, ah bukan ajaib, bukan juga. Yang jelas mungkin setiap yang melihatnya merasa segan dan sedikit takut. Rambutnya panjang untuk ukuran laki-laki, berkacamata tebal dan jelas penampilannya tak biasa.
“yee, malah cengo. Ngapain lu malah berdiri bego kayak gini? Katanya mau ke perpus..” Ah sial. Widya mengagetkanku. Padahal aku belum sempat berimajinasi tentang orang yang baru saja kulihat.
“kampret lu ngagetin gue. Gak, gue Cuma penasaran tuh orang siapa?”
“yang pake kacamata itu? Itu Zaro Ganala” jawab Widya dengan santainya.
“ha? Zaro? Keren amat ya tuh nama. Kenapa gak Zoro aja,kan cocok tuh. Sama-sama pake kacamata. Hehehe.. Pahlawan bertopeng dengan pedangnya. Jangan-jangan dia utusan yang ntarnya akan jadi pahlawan di kimia” Imajinasiku jadi muncul tba-tiba,total aku jadi cengengesan.
“gini nih yang gak tahu informasi. Norak” Jawab Widya mendadak naik darah.
“informasi apaan? Beneran ya dia pahlawan? Berapa banyak penjahat yang udah dia tumbangin? lah, kok gue baru tahu sih?” Dengan penasarannya aku kembali bertanya.
“lu tuh kalau berimajinasi jangan berlebihan cumi. Lagian siapa yang mau bilang dia pahlawan yang mirip Zoro. Gue bilang dia Zaro, dan itu bukan namanya. Zaro itu ketua divisi Ganala, disebutnya Zaro. Nama aslinya mah kang Hamdi kali. Makanya, otak tuh kritisnya buat hal berguna, ini malah sibuk bikin imajinasi aneh-aneh.” Widya menjelaskan panjang dan kali lebar sejelasnya tentang sosok yang tadi aku lihat.
“ooh,kirain. Hehehe. Pantesan aja tampilan luarnya udah beda. Tanyain gih punya pedang gak?biar imajinasi gue makin kuat tentang replikanya sebagai Zoro” Kaliku iseng saja bicara.
“ih dasar. Gue bilangin loh ama kang Hamdinya. Lagian asal lu tahu juga, Zaro tuh punya semca senjata juga, cuma bentuknya pisau dan yang boleh pegang cuma Zaro.” Widya kembali berpanjang lebar, dengan mimik dan intonasi yang mebuatku takut.
Wah, berarti khyalan gue yang Widya bilang berlebihan itu gak salah. Dia, kang Hamdi itu Zoronya Indonesia. Hmm,mungkin dia akan menumpas dosen-dosen garang yang kabar burungnya bilang banyak berkeliaran di D5 ini. Ah, baguslah. Jadi aku tak perlu repot meminjam mesin waktu untuk menculik ilmuan masa lalu, karena sekarang sudah ada pahlawan yang akan menumpas dosen yang jadi utusan ilmuwan-ilmuwan itu.
“dan lu salah satu yang akan dia tumpas, karena udah mikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan dia sudah mencium bau penjahat di sekitar gedung ini, dan suatu saat sampai di lu” Widya melengkapi khayalan gue tapi sekaligus menghancurkannya.
“lah? Gue? Penjahat?” aku terkaget mendengar omongan Widya.
“iyalah. Lu udah mikir aneh-aneh kan? Lu sebaiknya mencari tempat persembunyian terbaik lu sana. Sebelum dia dateng nyamperin lu” Sahabatku yang kampret ini semakin menjadi menakutiku.
Tanpa pikir panjang aku segera melarikan diri. Benar, mungkin saja dia yang akan menyerangku. Mungkin baginya aku adalah musuh. Ah, aku harus bersembunyi di gua peristirahatan terbaik bagi orang yang mentalnya sedang labil, tempat meditasi luar biasa, dan sekaligus tempat berlindung dari pahlawan yang malah berbalik menyerang. Perpustakaan.
“heh, mau kemana lu? Berlindung diri? Gue Cuma bercanda ndri. Tunggu gue. Hey!!!” widya berteriak sambil mengejarku.

TO BE CONTINUED..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar