Senin, 19 November 2012

TINGKERBELL




TINGKERBELL
Lewat hujan.
Lewat layangan yang mulai meninggi di langit.
Lewat wangi pisang goreng.
Lewat desir air selokan yang selalu berisik.
Lewat suara rem motor yang menyakitkan.
Lewat semua itu aku berusaha menumpuk segudang ide. Ide untuk bisa kembali menulis. Entahlah tentang siapa yang ingin aku tulis. Yang jelas aku sedang ingin menulis, namun sayang ide di kepalaku sudah terkuras habis memikirkan “ Kentang “ atau “ pangeran hujan “ atau “ manusia kalkulus “ atau apapun namanya yang sering aku beri seenak jidat untuknya.
Dan kini aku sedang membaringkan tubuh sejenak setelah menghabiskan semangkuk ramen. Mulai berusaha kembali menggali ide yang cermat untuk bisa menuliskan sesuatu. Ini bukan mengenai komersial, karena aku tak menjual sedikitpun tulisanku di media. Itu kalau ada keberuntungan. Setelah kejadian artikel “ panas “ yang pernah ku tulis saat SMA mengenai sosok Bupati, aku dan khususnya orang yang pernah membaca artikel itu berpikir bahwa tulisanku tiada berguna. Tulisanku hanya mengundang kontra banyak kalangan, meskipun tidak sedikit pula yang setuju. Dan aku mengalami trauma memasang tulisanku di media.
Tapi menulis itu semacam aktivirtas yang ketika di stimulus sekali, aku akan menulis tanpa henti. Bagiku menulis adalah dunia lain tempat dimana semua element bisa mengerti dan mendengar semua yang aku rasakan. Yak, aku ingin menulis. Ide masuklah pada otak yang tidak terlalu cerdas ini.
Kerutan di keningku sudah semakin meronta, menandakan tak ada satupun inspirasi yang bisa memberiku sedikit celah atau cahaya atau petunjuk atau remah roti apapun itu untuk bisa memulai menulis. Sampai akhirnya tak sengaja aku melihat satu buku yang tergeletak suram di meja, stebal 3cm, dan nampak masih sangat baru. Oh yak, itu novel yang aku pinjam dari Tiara.
Dengan suka atau tidak, aku meraihnya. Dan aku sadar itu adalah novel yang aku pinjam 4 hari yang lalu, dan belum aku baca sedikitpun. Keterlaluan. Pengarangnya adalah Arini Putri dengan judul yang ditulis ‘ goodbye happiness’. Sepenglihatanku, cover novel ini luar biasa. Namun jujur, aku tak begitu suka membaca. Semua yang pernah ku tulis, jarang akau baca ulang. Tonkat sihir bintang, kamera polaroid beserta lampunya menjadi padanan yang cantik menurutku untuk sebuah cover. Tidak terlalu mencolok, tapi berkessan membuat pembaca penasaran.
Aku membalik novel itu, dan membaca sinopsisya sedikit Demi sedikit dengn fokus. Ide bisa datang dariaman saja. Bahkan dari tulisan orang lain sekalipun.

Kau dan aku tidak ditakdirkan untuk berada dalam satu kisah yang indah.
Percaya atau tidak,begitulah kenyataannya. Jangan menyangkalanya karena akan sia-sia. Sama seperti berjalan di atas pecahan kaca. Prejalanan kita sesungguhnya hanya akan menuai luka.
Kau dan aku seperti tengah sedang membirukan senja yang selalu merah. Kita sama-sama berusaha, tapi tidak bisa merubah apa-apa. Senja masih tetap berwarna merah dan hatiku masih saja berkata tidak.  Maka berhenti dan renungkanlah semua ini sejenak, tidak ada gunanya memaksa. Ini hanya akan membuatmu tersikasa dan aku tenderita.
Lantas, kenapa kita tidak menyerah saja?
Bukankah sejak awal semuanya sudah jelas?
Akhir bahagia itu bukan milik kita.

Aku meneteskan air mata. Tanpa alasan. Bukan karena merasa pilu membaca ulasan novel tadi. Bukan pula karena ulasan itu secara tidak langsung mencerminkanku dan kehidupanku. Aku hanya menangis kenapa aku tidak bisa menulis sehebat itu. se epik dan seindah Arini Putri. Aku menghela napas di tengah tangisku, aku kesal dan sedikit geram.
Dan suara desir air selokan di luar sana masih terdengar jelas. Aku mulai merasa ngantuk. Tapi rasa ingin menulisku tak kunjung menipis. Rasanya aku ingin sekali merebahkan kepalaku diatas bantal, namun ketika bangun akan tersa taka adil. Tak adil ketika bangun aku menemukan bahwa aku belum menulis apapun. Tentang siapapun.
Lewat bingkai foto.
Lewat nyanyian burung hantu.
Lewat wangi apel.
Lewat lembabnya kamar.
Aku masih berusaha mnegumpulkan sejuta kata yang ingin aku torehkan.
Dan lewat memejamkan mata…
Aku menemukan. Menemui semacam semut merah ataukah semacam air tumpah yang memberiku harapan untuk menulis.
Lewat memejamkan mata, aku menemukanmu…

Kali ini sayap tinkerbell tengah rapuh. Entah terkena duri bunga, atau karena serangan burung. Membuat sayap peri cantik ini tak bisa di gerakan seperti biasanya. Kali ini dia terbang tidak selincah biasanya.
Tinkerbell terlihat duduk nyaman diatas sebuah dahan yang hijau dan berembun. Dia asik membaca sebuah buku dan raut wajahnya menggambarkan dia tengah menikmati cerita dalam buku itu. Nampaknya buku itu menyenangkan.
Duga hanyalah sebuah dugaan. Dia bukan tengah menikmati cerita dari sebuah buku. Tinkerbell tengah menatapi foto seorang bapak separuh baya. Dan mirp sekali dengannya. Yak, foto ayahnya. Sosok yang selalu dia rindukan setiap menginjakan kaki di rumahnya. Karena ketika dia pulang tak ada sosok paruh baya itu.
Sosok yang ketika makan malam dia dengar celotehannya. Karena sudah begitu jarang dia mendengar nasihat ayahnya.
Sosok yang saat tinkerbell merasa sepi, akan memberinya ruang untuk bahagia. Dengan pelukan, sedikit canda dan ribuan manja yang ingin dia perlihatkan di depan ayahnya.
Dia hanya tersenyum psarah. Dia tak bisa memaksakan takdir. Takdir yang membuatnya tidak bisa selalu di dekat ayahnya. Takdir yang selalu menjadikan alasan agar dia mampu menahan rindu dan menjaga jarak dengan ayahnya. Dia tidak menyalahkan takdir. Hanya saja, ada sedikit sesal kenapa ini terjadi padanya.
Tinkerbell membuka halaman berikutnya. Yang dia lihat adalah wanita cantik dan menurutnya mempesona. Wanita yang selalu berpura-pura kuat di depannya. Wanita yang menyembunyikan tangis dari mata tinkerbell. Ibunya yang selalu geming ketika jutaan sakit, ribuan caci, maki datang menghujam ulu hatinya.
Tinkerbell tak tahu apa yang mingin dia perbuat sekarang. Untuk terbang saja dia rapuh, apalagi berusaha melwan semua takdir yang memang sudah tertulis untuk hidupnya. Takdir yang membuat dia harus belajar banyak dari semua pahit yang tak kunjung reda.
Tingkerbell hanya mampu berdiam.
Dia hanya mampu berdoa dan berharap hujan segera menghapus semua kesedihannya.
Hujan mampu menghapus semua sakit ibunya.
Dan teduh segera datang. Segera datang membawa ayah pulang.
Hingga akhirnya mentari akan menyaksikan keabadian cinta tinkerbell, ibu dan ayahnya. Mentari akan menjadi jaminan mereka tak akan terpisah lagi. Selamanya.

Kini aku tengah tenang. Tenang mendapatkan sedikit remah roti sebagai petunjuk untuk bisa menulis. Sadar atau tidak Tinkerbell ini sudah menjadi inspirasi yang sebenar-benarnya. Hanya aku kurang membuka diri. Yak, kurang begitu merasakan.
Aku mulai mengedit tulisanku tentang Tingkerbell. Dan sejenak aku menghentikan aktivitasku. Aku tersenyum kecil. Aku bangga atas diriku. Aku tak menyesal tidak menjadi Arini Putri. Karena aku pun punya banyak inspirasi menulis. Pangeran matahari, mister kalkulus, Cherry, dan semua hal yang berada di dekatku. Khusunya Kiky. Dan yang terpenting Tingkerbell.
Bukan Tingkerbell biasa. Tapi sosok peri nyata yang tak pernah mengeluh ketika aku sering merepotkannya untuk menghitung regresi linear pada perhitungan di laporan praktikum. Peri yang selalu menebar tawa ketika aku mulai melakukan hal konyol. Peri yang menghargai setiap kekurangan yang selalu aku keluhkan. Peri yang punya NPM 140210100015. Aneu Wahyuni.
Ku shut down laptopku dan layarnya mulai meredup. Aku menarik selimut yang sedari tadi ingin aku sentuh. Dan aku mulai pejamkan mata. Perlahan. Tenang. Aku mencintai Aneu, mencintai Cherry, mencintai mama-papa dan aku mencintaimu. Kiky.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar