Dan kali ini aku merasa ingin menulis tentangmu…
Jika ditanya kenapa? Maka jawabannya adalah setahun yang lalu.
Dapat kamu bayangkan bukan, bagaimana aku menjelaskan cerita yang durasinya
setahun?
Namun yang aku ingat adalah hari itu aku mengenalmu. Aku tak pernah berpikir akan mengenalmu. Bahkan mencintaimu.
***
Yang aku tahu saat
itu aku seperti tersesat di tengah-tengah titisannya Dalton, Thompson, dan
arek-areknya yang berjaya pada masa itu. Masa dimana karena ulah mereka yang
iseng di laboratorium, akhirnya mengeluarkan banyak rumus yang sekarang seperti
makanan wajib bagi generasi muda mulai dari SMP,SMA dan bahkan sampai saat ini.
Kuliah.
Aku berada tepat di
depan gedung yang menyeramkan ini. Gedung yang berdiri dengan ribuan rumus
kimia. Dengan puluhan dosen yang akan mencekikku jika aku tak bisa menjawab
pertanyaan mereka. Aku seperti tersesat disini, atau mungkin aku dalam keadaan
tak sadar saat berpikir mengambil jurusan kimia di Unpad. Tapi kesadaranku
penuh. Aku sekarang tepat di depan gedung yang akan menjadi tempatku berkutat
dan menghabiskan masa dewasa selama 4 tahun disini. Membosankan.
“ Ma.. aku ingin pulang saja..” pikirku dalam hati.
Aku hanya bisa bergumam sepuasnya dalam hati. Karena aku memang tidak bisa
melakukan apapun sekarang. Berbeda jika aku bisa menemukan Doraemon,akan ku
rebut paksa mesin waktunya dan aku akan kembali ke masa di mana arek-arekan mas Dalton itu sedang asik dengan mainan anehnya
(sejenis tabung reaksi, pipet tetes, buret, dan benda jenis aneh
lainnya),menghancurkan semua percobaan yang mereka lakukan dan takkan ada rumus kimia sampai saat ini. Bodoh. Aku sendiri tak bisa
menemukan Doraemon. Indri tolol.
“ gak suka.. gak suka!!!”
gumamku memejamkan mata sambil menghentakkan kaki seenaknya di depan gedung
kimia yang biasa disebut D5.
Masih dalam keadaan menyesal..
“ punten gih, gedung
biologi ning endi?” logatnya khas. Medok gila. Tapi tetap ku biarkan
tanpa menoleh. Hanya ku gelengkan kepala sebagai jawaban ora ngerti. Lagian ini orang kenapa mengganggu momentku yang sedang
meratapi tersesatnya di jurusan kimia.
Bukan. Bukan logatmu yang kudengar saat itu ,sebagai pertama kali
aku mengenalmu. Mengenalmu bisa aku bilang anugerah yang menghapus penyesalanku
berada di D5. sampai saat ini menjadi semangat baru setiap harinya untuk belajar
dan aku bisa menemuimu setiap hari. Yak, tidak untuk berbicara tentang cinta,
makan siang bersama di kantin, atau belajar di perpustakaan. Tapi hanya untuk
menatapmu dengan hati-hati, karena nyaliku menciut untuk mengatakan apa yang aku
rasakan hampir setahun ini. Bagiku itu sudah menjadi keuntungan sendiri sampai
saat ini aku masih mau dan bertahan untuk selalu belajar, dengan harapan aku
bisa sepintar kamu. Aku tak mau terlihat bodoh sebagai orang yang menyukaimu,
dan akhirnya kamu menolakku dengan alasan aku bodoh. Tidak..
“Neng, ini kunci
kamarnya. Mudah-mudahan betah yak neng. Semangat buat belajarnya. Untuk
sekarang mungkin di lantai dua sepi, soalnya yang menempati kamar nomor enam
mungkin datangnya sore” Bapak kos menjelaskan panjang lebar setelah memberikan
kunci kamar yang akan aku tempati. Nomor lima.
“ iya pak
terimakasih “ jawabku singkat setelah mendapatkan kunci dari sosok paruh baya
yang berkepala botak dan perut yang agak sedikit menonjol. Bapak kosku yang
biasa dipanggil pak Sopian itu lebih cocok menjadi koruptor tingkat menengah di
banding menjadi pemilik kosan yang tiap hari membersihkan koridor kamar, karena
porsi perutnya yang mendukung itu. Ahaha, tapi tak apa dengan mendapat
keuntungan tiap tahun dari para penghuni kosan aku pikir itu sudah menjadi
asupan gizi yang lebih baik daripada harus menjadi koruptor yang jumlahnya
sudah semakin banyak di Indonesia.
“ Itu ada kunci
gerbang bawah, gerbang atas, kunci kamar dan gemboknya, Terus sama kunci lemari
kamar neng..” buset. Apa gak kebanyakan ini kunci? Kenapa gak sekalian aja yak
pak kos kasih aku kunci kandang ayamnya (siapa tahu punya kandang ayam). Ku
buka gembok kamarku yang menggantung. Belum sempat gembokku terbuka, suara aneh
itu terdengar. Lagi.
“aduh, Bapak ndak usah khawatir. Aku bakal
apik-apik wae neng kene dan sinau tenanan.
” sepertinya logat ini pernah ku dengar, tapi dimana yak?
“ loh, mba iki sing mau ketemu di gedung kimia
kan? Yang aku teko cuma di jawab pake
geleng kepala. Mba ngekos neng kene keding?” pemilik logat aneh itu mulai banyak omong
tak karuan. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan dengan panjang lebar
tadi.
“ emmm.. maaf mba saya gak ngerti.” Jawabku dengan
mimik heran dan pasti terlihat menyebalkan.
“ ahaha, saya lupa.
Nama saya Tuti. Saya anak baru di Unpad,jurusan biologi. Tadi kita ketemu loh
mba di depan gedung kimia. Cuma kayaknya mba
sedang dalam galau tingkat dewa jadi tidak menjawab pertanyaan saya” Kali ini
dia menggunakan bahasa yang bisa ku mengerti meskipun logatnya masih sangat
tidak enak. Medoknya luar biasa. Dan
sungguh nista sekali si mba medok ini
menyebutku sedang galau. Huh. Seperti dia tahu saja apa yang sedang aku
pikirkan. Tuhan, makhluk luar angkasa mana yang Kau kirim sekarang? Dengan nama
Tuti pula. Mengingatkan aku pada tetangga rumah yang hobinya lari pagi dengan
kondisi roll rambut bergelantungan banyak. Selain itu tukang gossip tingkat
cucak rowo seantero blok rumah. Padahal suadah menikah dan punya anak tiga.
Kasihan anaknya. Hahaha.
“ oh yak? Saya
lupa. Maaf yak saya masuk kamar dulu” aku menghindarinya dan berusaha mengingatnya.
Tapi yak tidak berhasil. Menurut instingku, jika sesuatu yang di ingat-ingat
tidak berhasil di jawab, maka hal itu tidaklah penting. Yak, aku pikir tidak penting mengingat kalau si mba medok itu pernah menyapaku.
Berbeda dengan kamu. Kamu
selalu penting menurutku. Sepenting aku harus bisa belajar organik, kimia
kuantum atau kimia fisik (mata kuliah favoritmu) supaya aku bisa dekat
denganmu. Sepenting aku harus membersihkan muka dengan cleanser setiap malam.
Sepenting sekarang aku menuliskan semua tentangmu. Sepenting namamu yang selalu
aku selipkan dalam setiap doaku. Sepenting aku mengupdate statusku tentang kamu
di facebook dari mulai setahun yang lalu. Sampai sekarang.
***
“ kamu mau kan
datang sekarang buat sharing acara halal bihalal sama aku? Nanti kita sharing
sama teh Dini dan teh Adel di kosannya” Susan memberi tawaran selesai mata
kuliah Kalkulus siang itu. Susan adalah teman satu-satunya yang dekat denganku
semenjak menjadi mahsiswa baru di kima Unpad. Itupun tak sengaja bertemu di satu jurusan tanpa
kita tahu, kita adalah alumni satu SMA. Payah. Sebenarnya ingin ku tolak ajakan
dia, tapi siapa lagi yang akan dia ajak kalau aku menolak, sama saja dia pergi
sendiri untuk sharing acara halal bihalal kampus. Teman yang dia punya saat itu
juga hanya aku. Aku tak mau merusak awal cerita menjadi mahasiswa karena egois.
Akhirnya aku terima ajakan Susan.
“Susan, aku cuma
nemenin yak. Aku gak mau kamu tiba-tiba nyuruh aku bertanya tentang kegiatan
halal bihalal yang sama sekali aku gak minat. Tahu sendiri aku masuk seksi
acarapun kamu yang masukin” gerutuku.
“ iya, iya… kamu
cukup duduk manis mendengarkan saja. Biar aku dan yang lain saja yang bertanya”
jawabnya.
Hmm? Yang lain? Bukannya Cuma aku dan Susan yang akan mengunjungi dua
senior itu? Yang Susan maksud yang lain siapa? Ah, lupakan. Aku sedang malas
bertanya. Tenaga dan pikiranku sudah cukup terkuras dengan mata kuliah Kalkulus yang menyebabkan aku
tegang mata, dan mengalami efek kekurangan ion. Huh.
Sepanjang jalan
dari gedung kuliah ke tempat kos senior-senior itu aku hanya diam, sibuk
mendengarkan cerita Susan tentang persiapan kegiatan halal bihalal kampus yang
merupakan agenda kepanitiaan tahunan yang di berikan kepada mahasiswa baru.
Sesekali saja aku mengomentari pendapatnya dengan kata ‘yak’ atau ‘tidak’.
“ kalian sudah
sampai? Wah, maaf yak kita telat.” Aku tersadar Susan sedang menyapa seseorang
saat sampai di depan kos teh Adel dan teh Dini. Jadi benar, kita tidak datang
hanya berdua. Susan curang, dia ternyata punya teman lebih dari satu sekarang. Jadi
siapa yang datang bersama aku dan Susan?
Saat itulah aku melihatmu. Saat dimana aku tak lagi menghiraukan
suasana. Saat dimana aku mendapat kembali tenaga dan pikiran yang sudah di
renggut dosen kalkulus. Pertama kali melihatmu sepertinya terjadi sesuatu dalam
hatiku. Sesuatu yang membuat jantungku memompa darah lebih cepat, setahun yang
lalu. Sampai sekarang.
Acara halal bihalal yang aku sebut tak penting, menjadi hari
dimana aku mendapat hadiah besar dari Tuhan. Kesempatan aku tahu namamu, tahu
sosokmu, cara bicaramu dan tertawamu. Yang selalu ku lihat dengan hati-hati
dari setahun yang lalu. Sampai sekarang.
***
Hampir 3 jam Susan
sharing tentang acara halal bihalal, dan selama 3 jam pula aku menatapnya.
Menikmati kembang api yang rasanya meletup-letup di atas kepalaku. Indah bukan
main. Sampai pulang ke tempat kos masih saja nuansa itu berputar di otakku dan
tak mau pergi. hingga datanglah yang merusak moment indah itu.
“ indri, boleh aku
minta tolong sebentar?” Tuti
menghancurkan lamunanku dengan logatnya yang sudah pasti medok. Namun kali ini aku lihat raut wajahnya sedang tidak benar.
Apa dia lupa merapihkan mukanya yak? Ah tidak, memang mukanya sudah terbentuk
demikian dari awal aku melihatnya. Tapi kali ini Tuti terlihat pucat dan
seperti tak berdaya, dilihat dari tubuhnya yang memang kurus kering dan lembek
itu.
“ kamu sakit?” kali
ini aku sedikit panik. Bukan karena so’ peduli, tapi tidak lucu kalau mendadak
Tuti pingsan di depanku dan aku menjadi tersangka yang di curigai teman kos
lain bahwa aku telah menganiaya Tuti dengan alasan aku membenci logatnya. Kekerasan karena perbedaan logat bicara
akan menjadi judul berita konyol yang muncul di berbagai koran dan berita kriminal
nasional di berbagai stasiun tivi. Ah, tidak.. tidak.
“ kamu mau ke UPT?
Atau puskesmas gitu? Nanti aku anter Tut. Kamu terlihat sangat
tidak sehat” aku kembali bertanya dengan keadaan semakin panik dan menghampiri
Tuti yang berjalan sempoyongan, layak nenekku kalau sedang mendengar lagu
dangdut.
“ ndri, mau menolongku kan?” Tuti semakin membuatku panik. Dia bukan lagi sempoyongan,
tapi hampir jatuh. Kalau saja tidak tertahan dinding, dia pati sudah ambruk
dalam posisi jelek. Aduh, si mba medok
ini.
“kerokin aku Ndri…”
dengan santainya dia menjawab. Kepanikanku berubah menjadi kekesalan yang
hampir saja aku apresiasikan lewat jitak ala
misae di kepala Tuti. Itulah awal kejadian yang mengakrabkan aku dengan
Tuti. Yak, memang berawal dari sebuah kerokan yang menyelamatkan dia dari
kondisi masuk anginnya. Tapi Tuti merupakan hadiah kedua yang Tuhan beri
semenjak aku kuliah. aku sudah terbiasa dengan logatnya. Bahkan aku tidak
keberatan jika memang ada berita dengan judul romantika sunda dan jawa beredar seantero jagad raya.
Seindah romantika Majalengka dan Jakarta. Romantika yang selalu
aku perdebatkan denganmu. Masih sangat membekas saat ditengah-tengah dosen
membahas mata kuliah, kamu bertanya tentang kota asalku. Majalengka. Dengan gayamu yang so asik (tapi
aku suka), kamu membandingkan Majalengka dengan Jakarta. Lagamu yang
mengagungkan mall yang berserakan di Jakarta, gedung yang menjulang tinggi,
jalanan yang selalu macet dan jelas itu ibukota, selalu menjadi alasan agar
kamu tak terlihat kalah. Padahal aku tahu kamu menginginkan suasana yang
berbeda. Kamu menginginkan sawah, udara, dan suasana seperti Majalengka. Aku
senang saat kamu banyak bicara. Selalu aku nikmati tawamu dengan hati-hati,
dari mulai setahun yang lalu. Sampai sekarang.
Terkadang aku sangat
cemburu saat kamu tertawa bersama orang lain. Ingin ku beri
pelajaran saja mereka yang tidak menghargai perasaanku. Yang berani
mendekatimu. Ku buat mereka menjadi adonan kue pukis. Gggrrrr.
***
“Ndri, kamu mau kan
dengerin ceritaku?” Tanya
Tuti dengan posisi terlentang di atas tempat tidur, dan tidur alay ala Tuti. Piyama Winnie the pooh, sendal tidur beruang, bed cover Ben10 dan
selimut Barbie.
“ Tentang mikrobiologi lagi? Aku udah bosen dengerin
kamu cerita tentang makhluk kasat mata itu Tuti. Rasanya aku sampai hapal,
gara-gara sering kamu certain ke aku” Aku jawab sambil tetap berusaha
konsentrasi membaca buku andalan kimia. Fessenden. Hampir satu jam aku
membacanya, tapi seolah tak ada yang menempel. Berbeda saat aku mendengarkan
cerita bakteri, virus atau mikrobiologi yang sering Tuti ceritakan. Sial.
Meradang sudah ini mata kuliah Tuti di otakku. Padahal aku sebentar lagi ujian
tengah semester, bahaya jika organikku sampai tidak mengerti.
Jika sampai aku tidak
mengerti organik, maka jalanku menuju duniamu akan tertutup. Aku masih selalu
tidak percaya saat kamu mengajakku untuk belajar organik bersama. Seolah aku
terhipnotis, dengan santai aku Cuma mengiyakan ajakan kamu. Saat kamu sudah tak
terlihat, barulah aku menyadari kebodohanku. Bagaimana ceritanya belajar,
sedangkan aku sama sekali tak mengerti organik. Demi menghabiskan
waktu denganmu, aku rela tutorial
organik, agar saat belajar denganmu aku merasa lebih siap. Organik menjadi alasanku sampai sekarang
untuk dekat denganmu.
“aku gak mau tahu ndri, kamu harus denger ceritaku”
paksa Tuti.
“Bakteriofag terdiri dari sebuah inti asam nukleat
yang di kelilingi selubung protein. Banyak yang mempunyai ekor yang digunakan
untuk melewatkan asam nukleatnya ketika menginokulasi sel inang…..” cerita makhluk kasat mata itu
di mulai.
Dan aku masih harus
berusaha dengan buku Fessenden yang aku pegang. Ya tuhan, begitu spesialkah dia
di mataku? Untuk dekat dengannya saja aku harus bisa memahami pelajaran
menakutkan ini. Sama menakutkan dengan dosennya. Huh.
Aku sama sekali tak
menghiraukan apa yang sedang Tuti ceritakan. Sampai aku mendengar suara
mengerikan dan aku menoleh Tuti sudah dalam posisi menakutkan. Sangat
menakutkan. Kakinya terangkat ke atas dinding kamar, kepalanya menggelantung di
tepian tempat tidur, dan mulutnya mengangap lebar, diiringi alunan ngorok yang
sama sekali jauh dari kata merdu. Dia tertidur pulas dengan dongeng mikrobanya
sendiri.
***
Ku keringkan
rambutku sehabis keramas pagi ini. Ah, kuliahku di mulai pukul 7. pagi ini aku
lewatkan bersama roti bercokelat dan doa agar aku bisa melihatnya dalam deretan
bangku kuliah di kelas nanti.
Setengah pikiranku
yang kusediakan untuknya pagi ini, akan ku perpanjang sampai malam. Aku
berusaha memulai pagi ini setenang mungkin. Dan harus gagal total karena
tiba-tiba Tuti dengan body gagsnya kalau sedang memegang ponsel, dia akan
menabrak apapun yang ada di depannya tanpa pandang bulu, masuk ke kamarku tanpa
permisi. Sial.
“Ndri, kamu tahu kan adikku yang sering ku ceritakan. Dia kan umurnya masih 4
bulan, moso coba yak ibuku bilang mau
masangin behel. Menurutmu gimana ndri?” dengan terengah-engah Tuti bertanya hal
yang menurutku anak ingusanpun akan bisa menjawabnya.
Sebagai pembalasan dendam karena dia sudah merusak
pagiku, aku jawab iseng saja “mbok yo
ajak aja adikmu ke ruang keluarga dan obrolin dengan baik-baik”.
Dan… blettaakkk!!!! Dia menjitak kepalaku kencang
sambil pergi keluar dengan muka di lipat kesal.
Aku hanya tertawa kencang.
***
Seperti biasa aku menempati barisan tempat duduk paling
depan disamping Hasna. Aneh, kursi samping kananku masih kosong. Sudah jam
segini Hasna belum terlihat sama sekali batang hidungnya. Padahal dia selalu
datang lebih awal dariku. Ku coba buka buku catatanku, menorehkan gambar bunga
mawar merah yang selalu ku gambar jika aku merasa bosan. Aku suka bunga mawar.
“ pagi ini gak ada
tugas kan ndri?” sebuah sumber suara mengagetkanku dan membuat gambar mawarku
menjadi tercoret. Kesal. Saat ku toleh sang pemilik sumber
suara, aku tak bisa lagi marah. Ah, dia. Dia menempati kursi samping kananku.
“ kenapa ndri? Ada yang sudah duduk disini?” tanya dia, sambil melepaskan tas gendongnya.
Pagi ini dia
terlihat tampan. Ah, tidak!. Tidak hanya pagi ini. Setiap
hari dia selalu terlihat tampan. Dia selalu terlihat rapih, dengan rambutnya
yang lurus dan berjelly. Dengan kemeja yang motifnya selalu aku suka. Dengan jam tangan silver yang
selalu dia kenakan, dan sepatu abu-abunya.
“mmm… gak.. gak ada
siapa-siapa. Hari ini juga gak ada tugas kok” jawabku sedikit tegang. Aku sedang berusaha ,menatapnya dan ingin
rasanya aku mengatakan sesuatu. Seandainya dia mengerti, aku takkan susah payah
memikirkan bagaimana cara mengatakannya.
Dan sang dosenpun
masuk. Dia mulai menjelaskan panjang lebar tentang materi kuliah pagi ini,
tanpa melihat kondisi mahasiswanya. Ada yang memang fokus, ada yang setengah
sadar karena pikirannya masih tertinggal di tempat tidur, ada yang sedang asik
mengetik pesan di Black Berry-nya, dan ada yang masih saja terus melakukan
pencurian pandang terhadap teman di bangku sebelahnya. Jelas aku.
Aku suka sekali melihatmu
dibanding pelangi. Aku suka sekali melihatmu
meracau saat dosen menjelaskan materi. Aku suka sekali menatapmu dalam, saat
mulai merasa ngantuk dan mulai tertidur dengan posisi menunduk. Aku suka sekali
saat kamu maju ke depan mengerjakan soal, dan aku melihat punggungmu. Aku suka
sekali saat kamu menorehkan pena lewat tulisan sambungmu. Aku suka sekali saat
kamu mengeluarkan tempat pensilmu dari tas. Aku suka sekali kamu, dari setahun
yang lalu. Sampai sekarang.
Di tengah pelajaran
kimia fisik ponselku menyala. Sebuah pesan dari Tuti.
Hari ini kita ketemu di Jatos yak jam 4, aku tunggu di foodcourt.
Kita makan bareng.
aku hanya terheran.
Kalau saja aku ginnie, akan ku ubah dia menjadi trenggiling atau berang-berang
karena selalu bersikap semaunya. Yak, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.
***
Dengan langkah
terburu-buru aku hampiri Tuti di sebuah tempat milkshake. Saat aku menempati
tempat duduk, aku tahu ada seorang pria yang tak kukenal duduk di depanku.
Dalam hati aku berpikir, mungkin dia ada perlu padaku. Sampai terlihat di meja
seberang Tuti melambaikan tangan. Oh iya, aku salah menempati kursi. Ups. Dan
dengan langkah malu segera ku hampiri
Tuti.
“ tumben kamu ngajak aku makan bareng Tut? Biasanya
kalau di ajak pasti gak bisa” tanyaku setelah mendapat segelas milkshake
vanilla dari waitress.
Aku suka vanilla. Wangi.
Seperti dia yang selalu tercium aroma parfumenya setiap memasuki ruang kelas.
Pikiranku kembali melayang padanya. Hanya dari segelas milkshake vanilla aku
bisa mengingatnya. Sumpah aku menyukainya. Benakku. Maka dengan di iringi
gemuruh orang, sore ini aku berdoa semoga suatu saat aku menjadi salah satu
kebutuhan baginya.
“AMIIN.. “ suara peng-aminan itu kencang sekali.
Kembali Tuti merusak segalanya. Sebal. “aku besok mau berangkat kuliah lapangan
ndri, makanya sengaja aku ajak makan bareng dulu.” Tuti mengeluarkan alasan
kenapa dia mengajakaku makan di luar.
“hah,kulap? Mendadak banget? Dimana? Berapa hari?” tanyaku serius.
“aduh, tanyanya
satu-satu Ndri.. terkesan banget kamu panik. Ahaha, ketahuan yak kamu gak bisa
di tinggal sendiri di kosan”. Panik? Tidak. Aku tidak panik mendengat
Tuti akan melakukan kuliah lapangannya. Hanya saja, aku merasa sedikit was-was
dan tak tenang. Bagaimana mungkin Tuti di lepas untuk kuliah lapangan, akan
jadi masalah besar jika dia muncul di peradaban sementara medok supernya selalu terdengar menyebalkan. Itu di telingaku. Dan aku rasa
akan sama bagi orang lain. Hahaha.
“ jelas aku panik
Tut. Gimana gak panik coba,jenis mamalia langka mau kuliah lapangan. Hahahaah”
ku jawab saja dengan guyon yang membuat Tuti geram. Sebenarnya aku memang panik
setiap tak ada Tuti. Aku akan merasa
kesepian, merasa tak ada yang mau mendengarkan, teman nonton DVD korea dan
makan malam. Sepi.
Dua porsi mie ayam
sudah tersaji,hmm.. wanginya menambah daya makan meningkat. Segera saja kulahap
tanpa memperdulikan lagi masalah kuliah lapangan Tuti. Ah, Pedas sekali mie
ayam ini.
Bicara makanan Pedas, aku teringat siang itu kamu sudah jongkok
Manis di depan gerbang kosanku. Rencana kita siang itu adalah belajar organik
untuk ujian tengah semester.
Di tengah-tengah belajar, suara tukang rujak mengacaukan
konsentrasi kamu, dan segera memesan dua porsi rujak. Ah, Pedas. Menyenangkan
sekali bisa melihat kamu begitu panik saat sesendok rujak itu masuk ke dalam
mulut kamu. Mimik muka kamu akan berubah merah menyala, matamu mulai berbinar
mengeluarkan air mata saking menahan rasa Pedas. Aku suka melihatmu siang itu.
Seteguk, dua teguk, tiga teguk air minum tidak bisa juga meredakan rasa
membakar di lidahmu. Pikirku, salah kamu sendiri pesan rujak cabe begitu. Tapi
takkkan pernah aku biarkan kamu terluka,bahkan hanya karena cabe. Segera ku
tawari kamu makan makanan Manis yang ada di toples kamarku. Manis.
Manis. Bukan rasa kue yang aku berikan padamu. Bukan pula Manis
adalah rasa yang sangat kamu suka. Manis. itu kesimpulanku setiap kali aku
melihatmu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang. Kenangan setiap kebersamaan
yang selalu menjadi imajinasiku saat menuju tidur. Menjadi doa dan harapan yang
tak permah lelah aku minta pada tuhan.
sambil memutar
telapak tangannya di perut “aah, aku masih lapar” ujar Tuti, sambil kita
melangkah pulang sore itu sehabis makan di foodcourt Jatos.
“ masih lapar? Kita
baru makan Tuti, dan porsi mie ayam tadi itu sudah sangat banyak, masa masih
lapar?” jawabku kaget. Sebenarnya meskipun kurus kering,Tuti memang mempunyai
kekuatan gaib yang cukup kuat di perutnya untuk menampung makanan lebih banyak,
tapi tidak wajar untuk kali ini. Mie ayam mang jono itu porsinya banyak, dan
dia masih mengeluh lapar.
“ kamu ga lihat
Ndri, tadi kan aku tidak , menghabiskan semuanya. Aku sisakan setengah dari
porsi sebenarnya” mana aku tahu dia menyapu semua atau tidak, itu mie ayam dia.
Yak terserah dia.
“Terus kenapa di
sisain kalau masih lapar?”
“soalnya, kalau
makan di luar itu harus di sisain biar kelihatannya kita elit dan seperti orang
kaya Ndri” jawabnya serius.
“hah? Teori siapa
pula itu? Lagian kita Cuma makan mie ayam mang jaja yang emang bisa di jangkau
semua kalangan Tutiiiii… jangan so tahu deh!” sumpah,Tuti bodohnya memang
kelewatan. Ku percepat saja langkahku menuju kosan. Biar jarak dengan Tuti
tidak terlalu dekat, dan orang tidak akan tahu mamalia primitip ini adalah
teman dekatku sekarang.
***
Pagi ini aku datang
labih awal ke kampus, agar bisa lebih lama belajar untuk UTS kimia kuantum. Aku
menunggumu pagi ini. Tapi kamu belum juga datang, padahal semalam kamu
memintaku untuk belajar kimia kuantum. Jelas, aku takkan menolak. Aku benci
menunggu (sebenarnya). Menunggu itu adalah pekerjaan suram yang membuat otak
mendidih dan kaki berjamur. Uh, aku benci. Tapi menunggu kamu aku merasa tak
dirugikan sama sekali. Biarlah otakku mendidih,karena kamu yang akan
menyejukkannya. Dan biarkan pula seluruh tubuhku menjamur, nanti kamu yang
mengobatinya. Haha otak licikku.
Dari pandangan
jarak jauh sosok jangkungmu sudah terlihat berjalan mendekati meja biru D5 yang
ku duduki. Ini pemandangan luar biasa.
“ kita belajar di
perpustakaan saja yuk!” ajak aku saat dia berjarak 2 langkah lagi menuju tempat
dudukku. Aku tahu kamu adalah orang yang sangat sering
menginjakkkan kaki di perpustakaan. Orang seperti kamu mana mungkin melewatkan
untuk menghabiskan waktu di tempat buku bertengger. Makanya aku tidak khawatir saat
mengajukan tawaran tadi.
“boleh. Aku juga
ingin di perpus saja. Biar tidak terlalu berisik” jawabnya dengan tersenyum.
Ah, jawaban yang sesuai dugaan.
Ini adalah kali pertama aku bisa berjalan denganmu berdua. Eh tidak. Kali kedua. Aku berharap jarak
dari meja biru ke perpustakaan jauhnya adalah dari sabang-merauke. Tak apalah
aku tempuh jarak ratusan kilo meter yang penting aku bisa memaandangi
punggungmu yang berjalan. Rasa-rasanya sepanjang meja biru-perpus kembang api
meletup letup lagi di atas kepalaku. Ah, indah. Ini tak mau padam sampai kita
sudah sampai di dalam ruang baca dan mulai membuka buku. Saat kamu menuliskan
rumus schrodinger tentang persamaan gelombang, kembang api itu semakin banyak
di kepalaku. Dulu aku berpikir untuk bisa kembali ke masa lampau menghancurkan
percobaan mas schrodinger, entah dengan menari nari di depannya atau menyanyi
lagu Fals-eto, agar konsentrasinya hancur dan takkkan lahir rumus menggelikan
itu. Tapi, jika tidak ada maka aku takkan bisa mengalami pengalaman seperti
sekarang ini. Oh mas schrodinger, terima kasih banyak atas rumusmu yang
mendekatkan aku dengan dia sekarang. Semoga engkau tenang di alam sana, dan
silahkan melakukan eksperimen lagi untuk kau ajarkan pada malaikat-malaikat.
Terima kasih tuhan engkau
telah memberi aku hadiah seperti dia. Berkatnya aku
banyak belajar mengenai banyak hal. Tentang perasaan, menunggu, motivasi. Berkatnya
otakku tidak terlalu kosong sekarang.Terima kasih tuhan telah memberiku keadaan
seperti sekarang, kesempatan dimana aku kembali bisa mencuri pandang tehadapnya
secara hati-hati. Dari setahun lalu, sampai sekarang.
Jam sudah
menunjukan waktu ujian kimia kuantum akan dimulai. Dan aku masih menaiki tangga
untuk mencapai ruangan. Sampai aku masuk, ternyata dia sudah mempersiapkan
bangku untuk aku tempati. Dan itu tepat di samping kanannya. Senang bukan main
ini.
Dalam rangka
menghabiskan waktu sisa ujian, aku isi saja dengan mamandangi dia yang masih
sibuk dengan kalkulator dan pulpennya. Kembali aku teringat pada kejadian
perpustakaan tadi. Dimana kedua kalinya kita melangkah berdua. Yak kedua kali.
Malam itu masih aku ingat dengan baik. Malam kali pertama aku
berjalan bersama denganmu. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, dan aku masih
dalam kondisi memakai jaket himpunan milikmu. 140210100045. malam itu adalah
malam pelantikan 2011 sebagai mahasiswa baru. Dan kamu datang terlambat dengan
alasan tidak ada jahim yang dapat kamu pakai. Aku serahkan jahim yang ku kenakan
dari tadi pagi. Hihi, maaf yak mungkin bau parfumku menempel di jahim kamu.
Sebenarnya dengan memakai jahimmu saja, aku sudah sangat merasa senang. Tapi
jika tidak ada kejadian kamu meminta ini kembali, maka tidak akan ada kejadian
kamu mengajak aku menemui Danesh dan Rey di lapangan merah,untuk meminta
pinjaman jahim yang lain. Dan tidak akan ada kejadian kita berjalan ke lapangan
merah melewati gedung geologi itu.
***
Selesai kuliah hari
itu hujan. Hujan yang deras, dan mengakibatkan aku harus menahan langkah untuk
pulang. Kini aku berada di lobby D5 bersama anak lain juga yang ikut ter jebak
hujan. Dan tidak ada dia. Dia selalu begitu, langsung melarikan diri jika
kuliah sudah tak ada jam lagi. Batinku tersenyum.
Kembali ingatanku
menuju tentangnya. Hujan begitu deras hari ini, dan melalui tiap tetesannya
tuhan anugerahkan cinta untuk ummatnya. Memandangi hujan, airmataku tak terasa
jatuh. Batinku serasa memaksa tuhan agar satu dari sekian ribu tetesan air yang
turun, tuhan selipkan cinta padanya terhadapku. Rasanya aku seperti seorang
pengemis yang selalu berharap tentang kehidupan bahagianya. Aku berusaha
menahan perasaanku terhadapnya. Tapi ini sulit. Perasaanku tak pernah ada
paksaan. Ah, ini juga adalah anugerah mencintainya. Ku sapu airmataku yang mulai
memperlusuh mukaku.
Dari jauh aku
melihat sebentuk aneh dengan jeleknya berdiri payungan. Ah, mamalia primitip
itu. Tuti ternyata datang menjemputku dengan payung spongebobnya. Tuhan sudah
menganugerahkan cinta lewat satu tetes hujan sore ini pada Tuti. Sampai dia mau
berdiri basah menjemputku pulang.
“kamu sudah pulang?
Kuliah lapangannya sudah selesai?” tanyaku sambil berjalan berdempetan di bawah
satu payung bersama Tuti.
“iya. Orang Cuma
satu hari kok.. tadi waktu aku pulang kamu belum kelihatan ada di kosan, dan
cuaca hujan deras banget. Aku tahu kamu pasti gak bawa payung Ndri, makanya aku
sengaja menjemputmu” baru kali ini aku mendengar Tuti bicaranya waras dan
hampir membuatku menjatuhkan air mata lagi karena terharu. Dia memang teman
yang sangat baik. Sangat baik.
***
Makan malam Tuti tidak habis. Lagi. Akhir-akhir ini
dia memang selalu menyisakkan makanannya. bukan karena tingkah so elitnya yang
kambuh, tapi gara-gara praktikum mikrobiologi dasarnya yang menuntut bergaul seharian
dengan Escherichia coli di ruang
praktikum, mengakibatkan Tuti mondar-mandir ke toilet untuk melampiaskan
bakteri yang sudah mampir di ususnya.
“ kamu mending periksain ke dokter lagi deh Tuti. Aku
tahu itu karena kamu menghirup coli
itu di laboratorium, tapi gak wajar kalau harus menguras berat badan 4 kilo.
Mau jadi skeleton berjalan kamu?” Aku berusaha mengingatkan Tuti akan
kesehatannya. Walau bagaimanapun aku sangat menyayangi Tuti. Aku tak mau
melihat dia menderita dan kurus lemah tak ada daya.
“ gak usah ndri. Aku nanti makan lagi saja kalau
lapar. Oh iya, kalau binatang invertebrata jenis artrophoda yang kamu suka
apa?” dengan mengabaikan kekhawatiranku akan berat badannya, Tuti malah
bertanya tentang mata kuliah invert.
Di pikir aku pelahap serangga. Aku tak suka binatang apapun, aku sukanya dia.
Ah, aku teringat kamu
menggambar sebuah binatang lucu. Bagiku lucu, meskipun saat aku menunjukkan
pada Aneu dan Arif (sahabat kuliah), mereka lebih senang menyebut itu adalah
gambar binatang yang gagal kloning dan jauh dari kata lucu.
Harus aku akui kalau
gambar yang kamu buat sangat aneh. Kamu menyebut bentuk binatang aneh itu
adalah komodo. Tapi, siapapun orang yang menilai gambar kamu, maka tidak bisa
tahu itu adalah komodo. Lebih terlihat seperti binatang yang gagal kloning memang.
Kali ini Aneu dan Arif benar. Hihi, aku hanya tertawa kecil saat dengan
bangganya kamu menunjukkan gambar itu padaku.
“ hmmm, aku suka capung” jawabku asal. Tapi itu benar.
Dari sederetan artrophoda seperti capung, nyamuk, kupu-kupu, belalang dan
teman-temannya, aku lebih menyukai capung. Capung bagiku mainan menyenangkan
saat zaman aku kecil. Dengan wajah setan aku tega mengikat ekor capung yang
berhasil aku tangkap dengan benang, dan menjadikan layangan kecil yang
menyenangkan. Mungkin saja, sekarang di surga sana capung-capung itu sedang terpuruk karena
ekor mereka patah. Ampun pung.
“ kenapa kamu
mendadak tanya seperti itu? mau menamaiku dengan nama capung cantik? Ahahahah”
Aku tanya kembali dengan nada guyon yang selalu senang aku lakukan pada Tuti.
“ apa? Capung cantik? Gak salah Ndri? Kalau kutu beras sih aku menerima” kali ini Tuti membalas dengan
ledekan mautnya.
“ ih enak aja, kamu tuh kecebong banci!!!” balasku tak
mau kalah.
“gak, kamu yang kadal buntung!!!”
“bukan. kamu tuh mamalia primitip, petelor lemot,
antek-antek ternggiling jawa, lalat gila, skeleton berjalan!!!”
Begitulah tragedi perang mulut yang terjadi di kamar
Tuti. Sampai akhirnya kita tahu, anak kos yang hampir nyenyak dalam mimpinya,
terpaksa beranjak dari tempat tidur untuk mengamankan adu binatang ini.
***
Pagi ini badanku
serasa akan hancur. Bagaimana tak hancur, Tuti menindihku
seenaknya saat dia melakukan adegan ngelindur
saat tidur. Kebiasaan. Tadi malam dengan santainya dia menghantam badanku
sambil mengigau iki ndak iso.. ndak iso.. ndak iso apanya coba?
Iya, Tuti ndak iso aku maafkan. Huh. Benar tak ada daya upaya untuk megangkat
tubuh yang masih terasa belum lurus. Dan aku lihat jam waker menunjukkan pukul
06.00.
“haaiiishhh.. hari kamis!!!” keluhku.
Keluhanku bukan karena hari kamis aku mendapat
tindihan Tuti yang mengakibatkan badanku
encok berat, atau hari kamis dimana akan bertemu dengan dosen yang mngundang
ngantuk, bukan pula hari kamis ini adalah hari terakhir masa tenggang modem
laptopku. Tapi, hari kamis adalah hari kuliah penuh, dan menguras hati. Kamis
minggu lalu aku melipat muka semalaman hanya karena melihat dia duduk sebelahan
denga Hasna dan membuat dia mengabaikan aku. Aku cemburu.
Aku selalu cemburu saat
kamu dengan yang lain. Aku cemburu saat dengan ringannya kamu melepas tawa,
memperlihatkan keceriaan dengan selain aku. Aku cemburu saat kamu duduk di
sebelah wanita lain. Aku cemburu saat kamu mendiskusikan pelajaran dengan orang
disamping kamu dan itu bukan aku. Aku
selalu cemburu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.
Dan kamis ini aku tak mau lagi menanggung cemburu yang
begitu menguras hati. Terserah orang mengatakan aku terlalu berlebihan. Terus
apa hak mereka ? mereka juga takkan mengerti tentang perasaanku. Perasaanku
memang selalu berlebih padanya. Dari setahun yang lalu sampai sekarang.
Dengan kerja keras
aku bangkit dari tempat tidur, dan beranjak mandi. Aku
tidak mau seperti Tuti yang pergi kuliah tanpa mandi.
***
Dan benar. Sekarang aku melihat pemandangan yang sangat
aku tak suka. Dia tertawa renyah dengan Nanda. Meskipun aku tak tahu apa yang
sedang mereka perbincangkan, tapi sudah pasti itu hal yang menyenangkan
baginya. Bisa saja mereka sedang menertawakan aku yang sedang mengidap cinta
bertepuk sebelah tangan. Atau, mungkin dia sedang berbicara tentang cinta
bersama Nanda.
“jangaaaaan!!!” tanpa sadar aku berteriak sendiri, dan
membuat seisi kelas memperhatikan kekonyolanku. Aneu dan Arif yang tahu isi
pikiranku hanya tertawa kencang. Ih, dua orang ini.
kamu orang yang humoris,
tapi bukan berarti bisa tertawa dengan siapa saja. Biasanya kamu selalu tertawa
di depanku. Bersamaku. Karena setiap aku dekat
denganmu, aku selalu ingin membuatmu bisa melepas diri dan merasa nyaman. Dan
aku pikir, dengan membuat suatu lelucon akan berhasil membuat kamu memberi
senyuman, bahkan tawa yang lebar. Aku selalu ingin melihatmu seperti anak kecil yang
senang dengan mainannya. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.
Pemandangan menyakitkan ini belum juga berakahir. Entah apalagi yang mereka
berdua bicarakan. Penghuni kelas bukan cuma mereka berdua dan aku yang
terasingkan, tapi seisi ruangan sudah berjubel dengan orang yang siap
mengahantam mata kuliah kimia fisik. Tapi pikiran dan pandanganku (yang
sesekali) terhadap dia dan Nanda menguras konsentrasiku. Sampai akhirnya
terlihat sosok lelaki sekitar umur 40 tahunan memasuki ruang kelas dengan
menenteng laptop serta buku yang kulihat judul besarnya Kimia Fisik I. jelas
dia adalah dosen yang akan memberi kuliah kimia fisik hari ini.
“ perkenalkan, jenengku Haryono. kulo arep ngajar kimia
fisik satu, bab termodinamika di kelas ini sampai menuju ujian akhir…” aku
tercengang. Ah, salah. Semua penghuni kelas kecuali pak Haryono, tercengang.
Logatnya. Yak, logatnya yang khas sama seperti Tuti. Medok seantero jagad
kimia.
Aku tertawa dalam
hati saat dia mulai membicarakan hukum termodinamika, dengan nada persis
seperti Tuti. Dan aku yakin yang lain juga seperti itu. bahkan aku lihat ada
seorang anak lelaki, memotong kegiatan belajar dan izin pergi ke toalet. Itu alibi, batinku. Sesampainya di toilet, dia akan tertawa terbahak,
sebagai komentar terhadap dosen yang satu ini.
Yang kulihat sekarang selebihnya pak Haryono seperti salesman, dengan omong kosong promosi
tentang barang yang dibawanya. Kembali aku berpikir andai aku punya Ginnie,
akan ku suruh dia membuang dosen dengan logat jawa ini ke jawa tengah. Tidak! Di lempar kesana akan
semakin menjadi saja medok ajaibnya.
Ahaha.
Kalau begitu aku
meminta Ginnie membuang dia kedalam lubang kloset toilet wanita saja. Semakin
dia berusaha muncul kepermukaan, semakin banyak yang akan mengguyur dia sampai
tenggelam di lautan kloset. Aku sudad sangat penat dengan logat ini. Sudah
cukup setiap malam mendengar Tuti bernyanyi lagu korea, dan terdengar lebih
mirip Tuti sedang lengseran akibat medok tingkat dunianya. Dan sekarang aku
mengalami gejala THT, dengan mendengarkan kuliah kimia fisik dalam bentuk
pagelaran wayang selam 3 SKS. Saat ini nasib yang paling sial adalah aku. Aku.
Sampai aku
menyadari dia duduk di sampingku. Ini mimpi? Jelas jawabannya tidak. Karena aku
masih bisa merasakan sakitnya saat pipiku di cubit. Jelas bukan mimpi, karena
aku masih melihat dan mendengar pak Haryono berceloteh tentang termodinamika.
Aku berusaha
berpikir kenapa kamu duduk di samping aku. Bukankah tadi kamu dengan mudahnya
bisa tertawa bersama Nanda? Yang membuat aku hampir membeludak. Membuat hatiku
teriris. Dalam keadaan masih memandangimu diam-diam, aku berintuisi kamu
sebenarnya tidak suka Nanda. Kamu tertawa karena mungkin Nanda sedang bercerita
tentang kucing peliharaanya yang kepergok berendam di kamar mandi Nanda. Atau,
Nanda bercerita bahwa dia adalah sejenis manusia pintar karena sering menelan
bulat buku-buku bacaanya. Aku berusaha menyenangkan diri sendiri dengan imajinasi
gila. Aku memang gila. Segila aku saat merindukanmu. Segila aku saat merasa
kamu menjauh. Segila aku menyukaimu. Dari setahun yang lalu, sampai sekarang.
Seperti biasa, dia sudah
mulai terkantuk mendengar kuliah yang membosankan. Dengan posisi duduk dan
melipat tangannya di dada, dia sedikit-sedikit mulai memejamkan matanya. Aku
tersenyum. Dan inilah saatnya membuat dia tertawa agar tak merasa ngantuk.
Sekaligus pembalasan dendam pada Nanda yang merampas dia tadi. Yang tanpa aku
sadari Nanda juga duduk di sebelah dia. Huh.
Aku memancing dia
dengan sebuah gambar yang ku torehkan di buku catatanku. Gambar itu adalah
karikatur pak Haryono. Jika di ingat, sebenarnya aku berdosa besar terhadap pak
Haryono. Tapi, tak apalah. Maaf yak pak.
Dia akhirnya bangun
dari setengah sadarnya. Dan memberi seulas tawa. Ah, menyenangkan. Aku tak
menyangka di awali dengan sebuah gambar konyol, akhirnya berlanjut dengan
guyonan panjang. Tawanya sangat menyenangkan. Aku tak lagi berpikir kamis hari
yang buruk. Karena ada dia, salah sau mata kuliahku yang penting. Maaf untuk
pak Haryono dan Nanda. Imajiku tentang kalian di luar batas waras.
***
Aku
membaringkan tubuh di tempat tidur, yang masih sangat terasa hampir hancur
Berkat Tuti. Kulihat sepatu converse merah marunnya belum
terlihat di rak sepatu, menandakan dia memang belum pulang dari kampus. Ini sudah mau pukul 18.00
saatnya setan-setan yang berkeliaran, bukan Tuti. Ah, kemana dia pulang telat.
Suara-suara
teriakan anak kecil memecah kekhawatiranku terhadap Tuti. Aku hiraukan saja.
Anak-anak kecil komplek kosanku memang sangat banyak, dan sedang aktifnya masa
tumbuh mereka. Tenaga bermain mereka memang sedang dalam puncaknya, sampai jam
seginipun masih saja terdengar tawa riang mereka. Tapi, semakin lama yang ku
dengar bukanlah tawa riang, melainkan seperti teriakan polos dan histeris dari
anak-anak kecil itu.
Ini
membuat rasa penasaranku membesar. Ku tengok saja sumber suara itu dari jendela
kamar kosku di lantai dua. Dan yang kulihat ternyata si mamalia primitip itu sedang
menggoes odong-odong yang berhenti di depan kosan. Ya tuhan..
“
Tuti! Kamu ngapain main begituan? Ayo cepet masuk. Udah gede, dan ini jam
berapa sempet-sempetnya ngegoes odong-odong!!! Cepet masuk” teriakku dari
jendela yang semakin aku lebarkan. Ya tuhan, aku berusaha menerima dengan susah
payah tentang medok luar biasanya. Dan sekarang Kau memberiku ujian yang lebih
berat.
“ah, asik yak Ndri maen odong-odong. Aku
jadi inget sepeda ontelku di Indramayu” Sambil menaiki tangga menuju lantai
dua, Tuti berkata seolah-olah dia tidak melakukan hal yang bodo.
“
kamu ih bikin malu aja. Udah gede Tutiiii… inget umur. Masih aja sempet nyobain
begituan! Aku mikirin kamu kenapa pulang telat, tapi
kamu dengan asik maenin odong-odong…..” belum sempat aku selesaikan sesi
memarahi Tuti, sudah terlebih dulu Tuti memelukku.
“makasih yak kamu udah mikirin aku,
khawatirin aku. Heheheh” ah, aku jadi
tak bisa marah kalau begini. Pelukan berbau parfume Tuti dan bercampur keringat
akibat energi yang di keluarkannya saat mengayuh odong-odong, meredakan amarah.
Anadai saja di SEA
GAMES ada cabang balapan odong-odong, maka kontingen dari Indonesia sudah dapat
di pastikan adalah Tuti si mamalia primitip.
***
“ iya Ma, teteh
udah makan… udah shalat… dan sekarang lagi belajar” jawabku di telepon genggam.
Mamaku yang satu ini ( dan memang satu-satunya), memang rajin menelponku
sehabis sahlat maghrib. Yang ditanyakannya takkan jauh dari makan, shalat, dan
belajar. Dia cerewet seperti biasanya.
“ mama belum bisa
jenguk kesana yak! bukan gak mau nak, tapi mama beneran sibuk. Nanti kalau ada
waktu, mama jenguk ke jatinangor deh” Mama kali ini sedang membujukku karena
janjinya yang tidak bisa dia tepati. Kemarin lusa saat dia menelpon, mama
berjanji akan menjenguk kesini. Mama sudah lama tak menjengukku, terakhir 2
bulan yang lalu. Ah, aku sangat merindukan saat-saat menyenangkan bersama mama.
Berbelanja, hunting makanan, dan
mendiskusikan banyak hal.
Terakhir yang kami
diskusikan dengan asik adalah tentang hot
issue perkelahian Dewi perssik dan Julia perez. Di ranjang kosan yang tidak
begitu luas, mengakibatkan aku dan mama mengalami posisi tidur yang membuat tak
leluasa bergerak. Sempit. Dengan daster yang selalu menjadi kostum mama saat
tidur, dan wangi tubuhnya yang khas mama memelukku sambil bercerita.
“ teh, menurut
teteh kalau perkelahian antara Depe sama Jupe berlanjut di lokasi syuting itu,
mana yang bakalan menang?” Mama memulai begossip ria.
“ mana teteh tahu
ma. Teteh kan
gak tahu yang mana yang lebih kuat. Lagian ngapain mama tanya begituan, mama
mau ikutan berkelahi ama mereka. Hahah” jawabku guyon dalam keadaan di peluk
mama erat. Saking eratnya, leherku sangklek tak karuan.
“ kalau kata mama sih yak, Jupe lebih kuat. Dia kan doyan olahraga, di
tambah lagi Jupe dadanya lebih gedean dari Depe” sekarang mama mulai
menduga-duga dengan alibi yang tak masuk akal.
“ ih, tahu darimana ma! Lagian itu gak bisa di jadiin
alasan dia lebih kuat apa enggak. Malah nih yak, dengan dada yang gede Jupe
akan lebih kesulitan menyerang Depe ma. Kan
berat…. Hahahha”
dan sekarang pula aku mulai terbawa dengan obrolan mama.
“ hahaha… anak mama
Pinter juga!” jawab mama polos. Ha? Pinter? Dasar ibu-ibu. Anak Kodok juga
tahu, dan mama bilang aku Pinter. Berarti aku dan anak kodok sama. Zzzzz..
“ ma, teteh sayang
mama.. mama sering-sering yak jengukin teteh kalau ada waktu. Teteh kan jarang
pulang. Sekalinya pulang juga gak bisa lam di rumah. Mama juga jaga makanan,
jangan sampai sakit. Jangan terlalau banyak makan yang Manis ma, ntar mama
diabetes lagi. Yak ma?”
“ma?”
“ma?”
Saat tak dengar jawaban
mama, aku tahu dia sudah tertidur pulas. Ah, dasar tukang tidur. Tak tahu apa
kalau aku latihan beribu kali untuk bisa berani mengatakan aku sayang mama,
mengatakan aku begitu mengkhawatirkan mama. Sekalinya bisa bicara, aku di
tinggal tidur.
***
“ iya ma. Ntar teteh telepon lagi yak!” plip. Dan aku akhiri perbincanganku dengan mama di
telepon. Mamaku selalu sibuk. Tapi seperti itulah dia menyalurkan kasih
sayangnya buat anak. Semenjak ayah tak
ada, mama bekerja lebih keras untuk biaya hidup kami. Aku sayang mama.
Percakapanku dengan
mama di telepon membuatku kehilangan cairan tubuh, dan tenggorokan kering. Ku
tuang susu cokelat segar ke dalam gelas,
dan segera ku teguk. Di tengah aku menikmati tiap aliran susu itu di
kerongkonganku,, blep! Lampu di kosanku mati. Sekejap aku tak mampu lagi
mengalirkan sisa susu yang masih setengahnya di dalam gelas. Aku panik. Aku
benci gelap. Aku segera menyusuri meja dengan tangan, berharap menemukan
sesuatu yang bisa aku pakai untuk penerangan. hingga akhirnya aku dapati lilin
bersama korek api.
Suasana remang lilin kini menahanku untuk membaca buku
Fessenden. Bagaimana bisa membaca, sementara aku begitu takut gelap. Dan di
saat seperti ini, Tuti tak ada di kamarnya. Dia hanya mengirimkan sebuah pesan
kalau dia sedang makan malam di luar. Menyebalkan. Terpaksa aku harus tetap
menahan tubuh untuk bergerak bebas, dan hanya berbaring di bawah selimut. Aku
benar-benar membenci gelap.
Pikiran hororku di saat gelap begini akan berkembang
macam-macam. Aku selalu terbayang wajah Suzanna saat menggendong bayinya,
dengan punggung bolong dan wajah berdarah. Atau seikat pocong yang menyeringai.
Aku menggigil ketakutan dengan imajinasiku sendiri. Tiba- tiba ku dengar suara
gerbang terbuka. Krreeekk. Di iringi langkah pelan dan suasana hening. Tak ayal
lagi keringat dinginku mulai keluar dari pori-pori kulit. Dan sebuah bayangan
yang terbentuk di kaca jendelaku. Hitam. Bayangan itu melayang-layang, dan
suara langkah itu semakin mendekat. Aku harus berani,batinku. hantu tidak mungkin memakan tubuhku. Yak, aku tahu
aku manis. Tapi tetap saja hantu tak akan bisa memakanku,karena mereka sedang
diet gula. Aku harus berani menghadapi
makhluk yang seharusnya tenang di alam sana.
Aku beranikan diri untuk
membuka gorden jendela kamar. Memastikan apakah itu hantu atau bukan.
Tidak berarti aku sebodoh itu untuk memastikan hantu. Tapi aku juga tak mau
mati lampu mengundang maling. Cukup sudah pengalaman sepatu kesayanganku hilang
digondol orang tak pengertian. Maling. Mereka tak mengerti betapa aku
membutuhkan sepatu untuk kuliah. Huh.
Perlahan aku
menggeser gordenku. Dan…
“ hantuuuu!!!!”
teriakku saat melihat wajah menyeramkan tepat menempel di kaca jendelaku. Aku
berdoa dalam-dalam semoga hantu itu tidak menggangguku dan mengurungkan niatnya
untuk mencicipi dagingku.
“hei! Ini aku
Tuti…. Maaf bikin kamu takut, tapi aku meninggalkan kunci kos di temanku, jadi
bisa kamu tolong bukain pintunya?” suara medok Tuti memecah doaku yang
ketakutan setengah mati.
“ beneran Tuti?”
tanyaku meyakinkan apa yang di bicarakan orang di luar jendela itu. bisa saja
hantu itu juga berasal dari indramayu atau Jawa, atau mungkin sedang trend
logat macam Tuti di kalangan hantu Indonesia.
“ beneran Tuti.
Cepetan bukain pintunya. Aku sudah kebelet pipis” kini aku yakin
itu memang Tuti.
Aku buka pintu
dengan keadaan tubuh yang sangat lemas gara-gara hantu menguras konsentrasiku.
Dan benar Tuti yang sedang berdiri menahan pipisnya. Wajar, aku ketakutan saat
melihat wajahnya tadi. Dia memang menakutkan. Hihi.
Kedatangan Tuti
membuatku sedikit lega. Setidaknya aku tak ketakutan sendiri. Meskipun ada
hantu, maka akan ada teman ketakutan. Bahkan hantu akan lebih tertarik pada
Tuti, yang wajahnya pas untuk menjadi salah satu komplotan mereka. Ditemani
lilin yang mulai mengecil, aku dan Tuti merebahkan tubuh diatas karpet hijau kamar Tuti. Kalau di lihat, karpet hijau ini memberi kesan kamar Tuti seperti
mushala. Aku hanya tersenyum kecil.
“ ndri, tadi sore air kamar mandiku gak keluar lagi”
cerita Tuti tentang kamar mandinya. Seperti biasanya keran di kamar mandi Tuti
memang suka sekali macet. Ah, bahkan keran air pun tahu mana kawan dan mana
lawan.
“ aku tuh udah sakit perut banget ndri. Jadinya aku
ambil air dari wastafel tempat jemuran deh!” Tuti melanjutkan cerita sore
harinya.
“ yang penting kan
kamu bisa bersih-bersih setelah poop.. lagian kamu udah kayak musuhan
sama kamar mandi sendiri. Jarang di bersihin. Pantes aja kalau keran aja nolak
kamu sentuh” jawabku sinis, mengkomentari kebiasaan jorok Tuti yang selalu
malas mensuras kamar mandi.
“nah, itu dia
masalahnya Ndri. Pas aku ambil air, aku udah poop. Aku baru sadar keran lagi macet
setelah aku keluarin semuanya. Terpaksa aku bersihkan dengan tissue dulu, dan
sarungan ngambil buat nampung air di wastafel luar” paparnya.
Hi? Tissue dulu? Artinya Tuti mengambil air dalam
kondisi dia belum… ih, Tuti jorok! Ampun deh. Mendengarnya saja aku bisa
membayangkan bagaimana konyolnya dia saat menampung air. Atau saat dia sedang
santainya menyetor, tanpa memikirkan
kalau semua yang berada di kamar mandi sedang memusuhi dia. Segera saja kau
menutup telinga. Aku tak mau mendengar cerita horor macam ini tentang Tuti.
Dasar mamalia primitip.
***
Dan hari ini sangat membuatku geram. Kuliah hari jumat adalah yang
paling instan. Belum karena Cuma satu mata kuliah, dosen mata kuliah kimia
norganikpun selalu keluar lebih cepat dari seharusnya. Dua faktor itulah yang
membuatku tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama. Lebih lama duduk di
sampingnya. Lebih lama memandangi wajahnya. Lebih lama melihat dia meracau
tanpa henti. Lebih lama membuat aku ke-Gran setengah mati.
Jam 12.50 aku baru sampai di gedung D5. dan segerombol orang sudah
berserakan di sekitar gedung ini. Aktifitas yang menjadi suasana lazim setiap
hari disini. Ada
yang begitu sibuk dengan tugas yang belum mereka kerjakan. Di seberang kiri aku
lihat orang-orang dengan serius membahas rapat angkatan. Dan dari meja biru sudah
kulihat Aneu melambaikan tangan padaku.
“ kenapa baru kelihatan jam
segini?” tanya Aneu. Aneu adalah satu-satunya orang yang menurutku sangat
mengerti perasaanku terhadap dia. Tanpa harus aku ceritakan, dia akan tahu
kondisiku. Sedih atau Bahagia. Dialah orang pertama yang membuatku merasa
nyaman masuk jurusan kimia. Sahabat yang sangat baik, seperti Tuti.
“ aku malas. Lagian kuliah juga
sesiang ini, kita langsung ke kelas yuk!!!” ajakku yang sama sekali tak
menghiraukan Aneu yang sibuk membuat bahan presentasi kimia fisiknya.
“ baru juga kamu dateng. Duduk
dulu aja. Ters lihatin tuh orang depan kamu. Hihihi” kali ini Aneu malah
mengalihkan ajakanku, sambil menarik tangan agar tubuhku duduk di meja biru.
Alhasil dengan kekuatan supernya, dia behasil menjatuhkanku.
Dan sekarang Aneu membuat kakiku sakit. Pandanganku menerawang lurus ke
arah depan. Kemeja kotak-kotak ungu. Ransel hitam yang aku suka. Jam tangan
silvernya, dan sepatu abunya. Dia disana. Tepat di depanku. Ya tuhan, terimakasih Engkau
masih memberiku kesempatan luar biasa ini.
“ gimana? Masih berpikir untuk
masuk ke kelas sekarang?” Aneu mulai menggodaku. Tak ayal lagi aku
langsung memeluk Aneu dengan erat.
“makasih Aneu.. aku sayang sama Aneu. Kamu emang sahabat yang
pengertian” bagiku dan bagi orang yang tahu aku menyukainya, terutama Aneu. Dia
sudah seperti makanan pokok yang wajib di santap. Jika tidak, maka sisa
energiku akan cepat habis. Dia seperti kebutuhan bagiku. Seperti pelembab yang
ku pakai setiap pagi. Seperti fessenden yang harus ku pelajari.
Waktu tak mengijinkanku untuk terus memandanginya. Aku dan Aneu segera masuk ke
ruang kuliah.
***
Aku segera
mengambil langkah untuk pulang. Hari ini sudah terlihat mendung dan aku tidak
mau sepatu yang baru ku cuci harus merasakan ketidak adilan cuaca. Betapa
susahnya menghilangkan noda tanah di sepatu putih.
Dan jam di ponselku
menunjukkan pukul 16.10 wib. Angkot gratis Unpad sudah tidak
berkeliling lagi jam segini. Dan aku harus berjalan. Sial.
“ bareng yuk pulangnya!!!” seseorang dari arah
belakang menghentikan langkahku dan memaksaku membalik badan.
Yah, dia lagi. Aziz. Aku tidak suka orang ini.
Meskipun dia adalah salah satu orang yang tahu aku menyukainya, tapi pribadinya
yang berlaga tahu semua hal, membuatku enggan berlama-lama dengannya.
Aku masih ingat saat aku menikmati fokusnya belajar
organik untuk UTS, dia dengan tidak diundang datang ke tempat kosku. Tak apa
jika memang ikut belajar. Tapi dia malah membuat keributan, yang membuatku
hampir kehilangan kesabaran.
Itu tak seberapa, di banding semua anak kelas tahu aku
menyukainya. Dan dengan mulut cucak rowonya aziz menyebar luaskan.
“ hmm? Bareng? Silahkan.. tinggal jalan aja kan” jawabku sinis.
“ kok sendirian? Kenapa gak bareng dia?” tanya aziz
sedikit menyindir.
“ lah, emang aku
siapa dia? Aku suka dia, bukan berarti aku berhak
mengatur hidupnya. Sekalipun aku jadi pacar dia, aku gak akan pernah membatasi
hidupnya atau mengatur keperluannya. Hidupnya hanya punya dia” kini aku mulai
emosi mengadapi makhluk sok tahu ini.
“ hahaha, iya becanda. Emang sesuka apa sih kamu sama
dia? Kalau suka
biasa aja mending kamu lupain dia daripada membuat pikiran kamu susah”
“ susah? Namanya
suka mah kan gak akan ada yang tahu kapan datangnya. Yang ada sekarang kata
‘susah’ berlaku buat aku bersikap biasa aja depan dia, susah buat gak suka”
jawabku dengan tetap berusaha meredam emosi. Aziz
ini orang yang baik memang. Dia memperlakukanku sebagai adik, memperhatikanku
setiap saat, tapi di balik itu semua rasa penasaran yang berlebihan Aziz
membuatku mengurangi nilai 10-nya menjadi 7.
“ ternyata susah yak?” pertanyaannya muncul kembali,
dan terdengar seperti bertanya apa aku cewek atau cowok. Jelas dia tahu
jawabannya apa.
“ yang terpenting aku suka dia karena baik. Pribadinya tidak banyak neko
dan otaknya cerdas. Pandai bergaul dan luwes kalau bicara. Sosok teman yang
menyenangkan, dan akulah yang payah.. benar-benar payah karena harus suka
padanya. Ini pasti akan menjadi jarak bagi kita suatu saat… ah, tap dia bukan
orang seperti itu dia baik… …… “
Dengan semena-mena
sekarang aku sendiri yang malah memberitahu apa yang aku pikirkan sekarang
tentang dia. Ini fatal. Mulutku sudah tidak bisa terkontrol
sekarang jika menyinggung masalah dia. Sepertinya dia sudah menjadi rangsangan khusus pada sel syaraf
motorik. Ah bicara apa ini, orang bahkan takkan peduli apa yang aku katakan.
Dan semoga makhluk yang berjalan disampingku ini juga takkan peduli.
“ehm, ehm…” suara
deham ini muncul dari arah belakang kita. Pertama aku abaikan.
“ehm,ehm…..”
keduakali terdengar lagi desaman yang nadanya lebih ke arah iseng dan
menyebalkan. Dan kedua kalinya aku tak menghiraukan.
“ yak ampun yang lagi curhat sombong banget….” Ketiga kalinya… ha!!! Ini kan
suara… ku lirik hati-hati mataku ke arah Aziz, dan dia sedang asik menyengir
kuda. Menandakan dia sudah tahu siapa yang ada di belakang kami, Danesh. Ku kedip-kedipkan mataku padanya, memberi isyarat untuk mempercepat
langkah. Perasaanku sudah mulai tidak enak. Keringat dinginku mulai keluar.
“ ini kenapa jadi pada cepet banget jalannya? Wah
sombong nih,” ketakutanku semakin besar lagi, mendengar suara ke empat kalinya
dari arah yang sama. Dan suara keempat ini adalah suara DIA.
Perasaanu mulai tak karuan. Langkahku lebih terlihat
seperti orang menahan pipis. Mukaku pucat pasi seperti saat anemiaku kambuh. Ku
tarik saja tangan Aziz tanpa melihat ke belakang agar terus disampingku, dan
meyakinkan dia tidak berinteraksi dengan Danesh dan DIA yang langkahnya mulai
mau menyamai aku dan Aziz, bahkan tepat di samping kita.
Aku tak peduli apa yang ada di pikiran Danesh dan dia
tentang sikapku yang memang mendadak mencurigakan. Tapi yang aku pedulikan
sekarang hanya menjauh dari mereka, berpura-pura tidak tahu, dan berharap
mereka tak mendengar sedikitpun apa yang sedang aku perbincangkan daritadi.
DARITADI??? Kata ini membuatku tersadar, mungkin dari mulai aku membicarakan
dia, mereka sudah ada tepat di belakang kita?? Ya ampun, ini malapetaka.
Sebaiknya aku mempercepat langkah lagi. Dan sekarang sudah terlihat seperti
orang di pertandingan maraton.
***
Sekarang posisiku sudah berkeringat dingin di dalam
kamar. Pikiranku mulai kacau dan timbul banyak pertanyaan. Apa dia mendengar?
Apa dia tahu? Bagaiman reaksi dia? Bagaimana kalau aku bertemu dia, dan dia bertanya padaku? Aku tak
tahu sekarang harus berbuat apa. Jika saja dengan memasukkan kepala kedalam bak
mandi memberi jawaban terhadap pertanyaanku, maka akan kulakukan.
Tapi yang lebih
penting dari itu, memastikan mereka tahu atau tidak perbincangan aku dan Aziz
sepanjang jalan tadi. Ya tuhan, buatlah mereka amnesia ringan. Amnesia? Ah
tidak, tidak. Aku pastikan dengan amnesia yang akan terhapus dari memory mereka
pasti aku. Aku bukan teman yang baik buat mereka. Dengan amnesia bisa saja mereka kehilangan memory mata
kuliah organik, dan itu akan menjadi masalah paling besar.
Kalau begitu ya
tuhan, buat mereka kehilangan memory untuk hari ini saja, jika bisa di block momento menyeramkan tadi dan
ENGKAU boleh mendeletenya. Bodoh, ini
bukan saatnya mengkhayal.
“ tuti, aku mau
minta pendapatmu?” tanyaku datang tiba-tiba di kamar Tuti. Membuatnya setengah
ketakutan karena kaget.
“ mbo yok koe ketuk pintu dulu ndi, itu kenapa
lagi mukamu Pucet kayak wayang?” pertanyaanya tingkat kurang ajar. Tapi apa daya, aku sudah tak ada daya untuk memberi dia jurus monyet
cantik-ku.
“ gak usah bahas
kenapa wajahku begini. Yang harus kamu pikirin gimana caranya membuat dia dan
danesh lupa kejadian hari ini” ku rebahkan tubu di ranjang Tuti yang berseprai
Ben10 hijau, dan membuatku berasa tidur di atas karpet mushala.
“ koe kenapa toh? Kejadian apa? Iki tuh ndak ngudeng opo yg km
bilang… opo coba koe dateng ga izin, dan sekarang ngomongnya ngawur. Iki tuh
ndak tahu masalahnya” si mamalia primitip ini kembali mengeluarkan bahasa aneh dengan
logat luar biasanya. Aku ceritakan padanya tentang kejadian naas hari ini.
“ jadi apa saranmu
Tuti? Apa aku pastiin aja dengan sms dia? Tanya apa dia denger atau gak?”
“…….”
“ Tut, ada saran
gak?” tanyaku lagi.
“……..” tetap taka
da jawaban. Dan dengan enaknya dia tidur pulas. Tutiiiiiiii.
***
The end
Dari mulai saat
itulah aku merasa takut saat berhadapan denganmu. Aku takut kamu tak memiliki
perasaan yang sama, dan akhirnya kamu menjauhiku. Meskipun kamu meyakinkan
bahwa tak mendengar apapun percakapanku saat itu, tapi suatu saat kamu akan
tahu perasaanku. Perasaan dari setahun yang lalu sampai sekarang.
Musim telah
berubah. Namun perasaanku padamu tak berubah. Sebisaku menghilangkan ini dengan
berbagai cara, tapi itu tak membuahkan hasil. Gagal. Dan akhirnya aku
memutuskan membiarkanku menyukaimu sebanyak yang hatiku inginkan. hingga
akhirnya berbuah menjadi perasaan yang lebih dari suka.
Aku tidak pernah
mendengar kalau menyayangi lawan jenis itu salah. sekalipun menyayangi sosok
luar biasa seperti kamu. Yang aku dengar dan aku tahu perasaan itu bisa datang
kapan saja dan pada siapa saja. Dan mungkin Allah mengirim ini untukmu.
Sekarang yang aku
inginkan darimu. Dari sosok berambut jelly, berkemeja rapi, berjam tangan
silver dan sepatu abu-abu, adalah kamu tahu apa yang aku rasakan. Tak penting
apa jawabanmu, yang terpenting setelah kamu tahu perasaanku, tak ada jarak
antara persahabatan yang sudah sangat menyenangkan antara kita. Anggaplah semua
cerita tentangmu adalah hadiah kecil dalam memberiku pelajaran tentang
perasaan.
Aku selalu berdoa
suatu saat Allah akan mempermudah keadaan antara kita. Entah itu dengan
membiarkan kita bersatu. Entah pula dengan menghapus semua perasaan yang aku
miliki untuk kamu.
Saatnya aku
mengatakan ini. Padamu. Yang aku simpan dari setahun yang lalu sampai sekarang.
Aku sayang kamu. Egy safriandi